Ketika kuota lebih berharga
Sisa-sisa pesta tahun baru pada awal tahun 2020 masih terasa dalam kehdupan sehari-hari. Akan tetapi hilang seketika seiring dengan berita kemunculan virus yang mematikan. Virus yang konon berasal dari Tiongkok ini, menyerang negara-negara di 5 benua. Serangan yang begitu masif mengakibatkan berjuta-juta manusia di seluruh belahan dunia terpapar bahkan sebagian ada yang kehilangan nyawa. Virus ini menjelma jadi hantu dalam kehidupan manusia di seantero jagat, termasuk di Indonesia.
Kemunculan virus yang diberi label covid 19 ini, di Indonesia ditengarai dengan kepulangan para TKI yang bekerja di Wuhan. Dari sekian ratus TKI yang dipulangkan, terindikasi terkonfirmasi virus. Sejumlah warga Indonesia menolak kepulangan mereka karena takut mati disebabkan tertular virus. Beberapa pejabat negara yang sedang berkunjung ke luar Negeri, ketika dites di Indonesia juga terkonfirmasi virus positif. Namun demikian, dampak dari penyebaran virus ini belum terasa dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan masyarakat.
Virus yang menyebabkan penyakit corona ini di Indonesia memang tidak menimbulkan rasa takut seperti yang terjadi di negara-negara tetangga, seperti di benua Eropa dan Amerika. Terlihat pada bulan pertama di tahun 2020, kehidupan masyarakat di Indonesia berjalan normal-normal saja. Pemerintah dan warga negara tampak tenang dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Pada bulan kedua, tepatnya di bulan Februari, baru terasa dampak dari penyerangan virus terhadap seluruh elemen masyarakat, dari pejabat di atas hingga rakyat biasa di bawah.
Layaknya hantu malam jumat kliwon yang menakutkan, virus corona telah bergentayangan dalam kehidupan masyarakat di seluruh pelosok Negeri. Hampir setiap hari muncul berita ada warga yang terkonfirmasi positif corona, bahkan ada yang meregang nyawa. Perjalanan virus ini sulit terdeteksi karena penyerangannya melompat-lompat seperti atlet lompat jangkit. Misalnya, pada suatu hari ditemukan warga di Jakarta positif, besuknya nun jauh di Sulawesi ada warga yang meninggal dunia karena corona. Dalam waktu sekejap terjadi pandemi virus corona atau covid 19.
Upaya untuk mencegah laju penyebaran covid 19 atau corona dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan memberlakukan pembatasan jarak sosial (social distancing) dan pembetasan jarak fisik (fisical distancing). Dalam berinteraksi antarmasyarakat harus ada jarak, baik secara sosial maupun secara fisik. Semua aktivitas dalam kehidupan sehari-hari, sosial, ekonomi, budaya dan pendidikan dihentikan sampai waktu benar-benar aman. Masa pandemi telah melumpuhkan sendi-sendi kehidupan masyarakat di Indonesia.
Ihda, Tiyasna dan Tsalitsa termasuk anak-anak yang terkena dampak penyerangan virus corona. Mereka bertiga merupakan saudara kandung dalam satu keluarga. Ihda sebagai anak pertama sedang menempuh kuliah di perguruan tinggi yang ada di kota Semarang. Tiyasna menjadi anak kedua menempuh pendidikan di bangku SMA dan bersekolah di sebuah SMA favorit di Pati. Sedangkan Tsalitsa merupakan anak ketiga masih duduk di bangku sekolah dasar kelas 6. Kebijakan pada masa pandemi telah memberi kesempatan mereka bertiga berkumpul di rumah.
Pada awal bulan ketiga, tepatnya di bulan Maret tahun 2020, pemerintah mengeluarkan kebijakan bahwa setiap satuan pendidikan di semua jenjang wajib mengadakan pembelajaran jarak jauh atau belajar dari rumah. Di setiap sudut kota terlihat pemandangan sekolah tutup karena tidak ada siswa yang belajar di sekolah. Hari-hari pertama belajar di rumah, membuat orang tua pusing tujuh keliling. Masing-masing orang tua dibuat kebingungan mendampingi anaknya belajar. Yang lebih membingunngkan para orang tua adalah model pembelajaran melalui daring atau internet. Mereka dituntut memfasilitasi anaknya untuk mendukung pembelajaran daring.
Menghadapi pembelajaran daring tidak menjadi masalah bagi Ihda karena sudah terbiasa menggunakan perangkat daring. Sesekali ia mengerjakan tugas kuliah melalui daring. Selain itu, fasilitas daring sudah tersedia untuknya. Tiyasna juga tidak kebingungan dalam menghadapi pembelajaran jarak jauh melalui daring. Dirinya sudah siap dengan fasilitas daring. Bahkan selama ini fasilitas tersebut hanya digunakan untuk bermain game. Ia sering dimarahi oleh orang tuanya karena terlalu asik bermain hingga tidak menghiraukan panggilan orang tua. Mereka berdua, Ihda dan Tiyasna tergolong pelajar yang sudah siap belajar melalui daring.
Kondisi Tsalitsa sangat berbeda dengan Ihda dan Tiyasna. Ia belum pernah sama sekali menggunakan perangkat daring. Jangankan untuk pembelajaran, untuk bermain saja tidak pernah karena belum terpikir olehnya untuk memiliki perangkat tersebut. Ia lebih enjoy dengan dunianya sendiri, yaitu dunia anak-anak. Meskipun sudah kelas 6, dirinya lebih akrab bermain dengan anak kelas 5 ke bawah. Jarang sekali bermain sesama anak kelas 6 karena usianya masih setara dengan anak yang duduk di kelas 4. Dirinya tidak menanggapi pembelajaran moda daring.
Pada suatu hari, ditanya oleh guru kelasnya tentang kesiapan mengikuti pembelajaran moda daring. Tsalitsa menjawab belum siap karena belum mempunyai ponsel android. Gurunya sedikit kaget karena dianggap sebuah keanehan jika Tsalitsa belum siap dengan pembelajaran daring. Menurut pendapat guru kelas 6, dirinya seharusnya siap dengan perangkat daring karena sebagai anak dari keluarga terpandang, ayahnya seorang Kepala Sekolah SD yang cukup disegani dan ibunya seorang guru di TK. Dirinya juga termasuk siswa yang cerdas, meskipun usianya paling muda di kelasnya tetapi kompetensinya melebihi temannya yang usianya lebih tua. Pengalaman mengikuti lomba mewakili sekolahnya sering memperoleh juara pertama tingkat kecamatan. Bahkan pernah mampu bersaing di tingkat kabupaten sehingga lolos ke tingkat provinsi.
Guru kelasnya tetap bersikukuh meminta kepada Tsalitsa untuk ikut pembelajaran daring namun dengan toleransi khusus. Tekniknya ia diminta untuk mengambil tugas di sekolah kemudian dikerjakan di rumah dan hasil dari tugas dikirim melalui WA. Yang membikin repot dirinya adalah ketika mengirim hasil tugas, ia harus meminjam ponsel orang tuanya atau sudaranya. Yang lebih sering dipinjam ponsel milik ayahnya karena jarang digunakan untuk aktivitas daring.
Tsalitsa memang tergolong anak cerdas. Ketika tidak ada tugas dari guru kelasnya, dirinya memanfaatkan siaran televisi untuk memperdalam pengetahuan. Pada jam tayang materi pembelajaran kelas 6, anak ini lebih fokus pada televisi dan tidak ada yang boleh memindahkan canel sebelum acara pembelajaran selesai. Disiapkan buku catatan untuk merangkum materi dari televisi. Dicatat pula setiap pertanyaan kemudian dijawab dengan bantuan membuka buku materi dari sekolah. Sehingga ia tidak kehabisan ilmu meskipun pada saat pandemi covid 19.
Ada satu pengalaman yang sangat mengesankan bagi Tsalitsa tentang pembelajaran daring, yaitu ketika mendapat tugas dari guru kelasnya. Saat itu dirinya harus segera menyelesaikan dan mengirim tugas kepada guru melalui WA. Padahal ponsel ayahnya di bawa ke tempat tugas dan ibuknya sama juga tidak ada di rumah. Begitu pula milik saudaranya dipakai untuk pembelajaran online. Batinnya berkecamuk antara menunggu ayah dan ibunya atau menunggu saudaranya selesai online. Seharian penuh dirinya hanya bisa menangis karena tidak bisa ikut pembelajaran online. Kejadian ini tidak hanya sekali saja, melainkan sering dihadapi oleh Tsalitsa. Beruntung, secara kebetulan guru kelasnya bersahabat sangat baik dengan ayahnya. Ketika dia belum dapat mengirim tepat waktu, ayahnya meminta kepada gurunya agar mengizinkan dirinya mengirim tugas agak terlambat. Dan gurunya menyadari betul kondisinya, beliau memberikan toleransi kepada Tsalitsa tetapi tidak boleh terlalu lama.
Terpikir oleh Tsalitsa untuk meminta kepada orang tuanya agar dibelikan ponsel android atau ponsel pintar. Tetapi niat itu dirurungkan karena melihat kondisi orang tuanya memang belum mempunyai uang yang cukup. Ia berpikir mencari solusi untuk memecahkan masalah pembelajaran online. Dicobanya menemui guru kelasnya ketika menjalankan piket harian. Guru kelasnya menerima usulannya untuk belajar tatap muka di kelas dengan konsekuensi mengikuti protokoler kesehatan dalam masa pandemi corona. Untuk sementara, masalahnya terpecahkan meskipun pembelajaran tatap muka dijalani sendirian. Tsalitsa menyadari semua ini resiko dirinya dihadapkan pada hidup serba kekurangan. Namun demikian, ia tetap bersyukur meskipun hidup dalam serba kekurangan karena masih diberi nikmat sehat oleh Tuhan.
Setiap masuk ia berjalan ke sekolah sendirian. Tak dihiraukan ocehan temannya, seperti bunyi pribahasa biarkan anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Tindakan yang telah diambil oleh Tsalitsa mendapat apresiasi dari stakeholder bidang pendidikan, dari Kepala Desa, Kepala Sekolah hingga Bupati dan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten. Bagi dirinya sebagai pribadi, apresiasi tersebut terasa hambar karena yang dibutuhkan bukan ucapan apresiatif melainkan perangkat daring, yaitu ponsel android atau ponsel pintar agar dapat mengikuti pembelajaran daring.
Berhari-hari Tsalitsa merenung pada dirinya sendiri karena nasibnya belum beruntung. Ia sangat berharap mendapatkan ponsel pintar untuk mendukung pembelajaran daring. Namun apa daya hingga menjelang berakhirnya pembelajaran untuk tahun pelajaran 2019/2020, ia tetap melakukan pembelajaran tatap muka. Tsalitsa menghadap pada ayahnya untuk meminta ponsel tetapi tidak mendapat jawaban yang pasti dari ayahnya. Apalagi ibuknya malah terkesan tidak memikirkan sama sekali kondisinnya.
Akhir tahun pelajaran 2019/2020 telah tiba dan Tsalitsa menerima pengumuman kelulusan. Dibuka amplop yang berisi pengumuman, seketika itu juga di halaman sekolah. Dalam surat keterangan tersebut ia dinyatakan lulus dan mendapat piagam menjadi siswa terbaik di kelasnya. Hal tersebut tidak membuat dirinya bahagia dan bangga. Yang terjadi sebaliknya ia bersedih karena ia harus melanjutkan ke SMP. Yang membuat hatinya gundah gulana tak lain dan tak bukan bayangan di SMP pasti menggunakan pembelajaran daring karena masa pandemi corona belum ada tanda-tanda akan berakhir pada tahun 2020 ini.
Fakta yang terjadi memang Tsalitsa belum dibelikan ponsel android atau pnsel pintar oleh orang tuanya hingga memasuki babak baru di SMP. Ketika ada pengumuman dari wali kelasnya tentang pembentukan grup WA, ia mengirim nomor ponsel ayahnya untuk dimasukkan dalam grup. Dalam grup harus mengenalkan diri pribadi masing-masing siswa secara lengkap. Dengan berat hati, Tsalitsa mengenalkan dirinya dan meminta maaf kepada wali kelasnya karena menggunakan ponsel ayahnya. Ia juga meminta kepada wali kelas agar diberi kelonggaran dalam mengirim tugas melalui daring. Wali kelasnya pun memberi toleransi kepadanya yang terpenting ada yang memfasilitasi dalam pembelajaran online.
Ini yang membuat ayahnya kebingungan karena dalam ponselnya tiba-tiba muncul beberapa grup, mulai dari grup kelas hingga grup masing-masing mapel. Bahkan ada teman barunya yang mengirim japri untuk berkenalan dan berteman. Ada cerita lucu, pada suatu ketika ada seorang siswa yang tiba-tiba menanyakan nama dan ingin berkenanlan dengannya. Dengan bergurau ayahnya memperkenalkan diri pribadi bukan Tsalitsa yang dikenalkan kepada siswa tersebut. Ternyata ada pengakuan kalau siswa tersebut adalah murid dari ayahnya. Dalam hatinya ada rasa geli ketika membaca share japri dari teman barunya yang ternyata siswa ayahnya. Ia pun minta dengan serius kepada ayahnya untuk membelikan ponsel.
Ayahnya menyanggupi permintaan Tsalitsa jika sudah mempunyai uang yang cukup untuk membelikan ponsel pintar. Ibuknya juga mulai merasa iba melihat keadaan Tsalitsa yang agak gelisah karena belum memiliki ponsel android untuk pembelajaran daring. Kedua kakaknya juga ikut berpikir mencari solusi agar Tsalitsa dapat mengikuti pembelajaran daring dari SMP dengan tenang dan lancar. Ayahnya yang mengalah untuk meminjamkan ponselnya kepada Tsalitsa secara permanen dengan catatan hanya untuk belajar daring bukan untuk permainan game. Senang hatinya karena permasalahannya untuk sementara terobati dengan ponsel ayahnya. Ia pun menyanggupi permintaan keluarga untuk tidak bermain game dalam ponsel.
Tsalitsa hanya bisa berdoa yang dilakukan agar secepatnya mempunyai ponsel pintar. Setiap selelsai menjalankan salat, tak henti-henti tangnnya menengadah memohon kepada Tuhan agar ayahnya segera diberi rizki yang banyak untuk bisa membelikan ponsel dirinya. Selain itu, dia juga berusaha merayu ibuknya dengan cara membantu pekerjaan di dapur sesuai kemampuannya. Dengan harapan bila ibuknya dapat rezeki bisa membelikannya ponsel pintar. Yang dinantikan hanya satu segera mempunyai ponsel pintar sendiri, baik dibelikan oleh ayahnya atau ibuknya.
Tuhan pun mendengarkan doa Tsalitsa tak terlalu lama. Pada suatu hari, ia mendapat kabar jika ibuknya mendapat rizki lumayan banyak. Sebagai guru non-PNS, ibuknya telah menerima tunjangan profesi yang lumayan banyak nominalnya. Seketika itu juga, dirinya meminta kepada ibuknya agar diberi uang untuk membeli ponsel pintar. Ibuknya pun mengabulkan permintaannya dan ayahnya menyetujuinya. Tsalitsa diberi uang secukupnya untuk membeli ponsel pintar dengan harga standar. Hatinya berbunga-bunga memegang uang pemberiannya ibuknya.
Pada malam hari, Tsalitsa keluar dari rumah dan pergi ke gerai ponsel di wilayah kecamatan sebelah. Dirinya tidak sendirian tetapi ditemani oleh Ihda dan Tiyasna. Ketika sampai di tempat yang dituju, Tsalitsa segera memilih ponsel yang tersedia di gerai. Ia bertanya kepada penjaga gerai tentang harga dan kelebihan ponsel yang ditawarkan kepadanya. Ia juga meminta kepada penjaga gerai untuk menjelaskan muatan ponsel secara detail. Setelah cukup lama tanya jawaba, akhirnya dipilihlah sebuah ponsel pintar keluaran terbaru dengan banyak kelebihan. Ia pun pulang dengan membawa ponsel pintar dan angan-angan yang membara untuk mengikuti pembelajaran daring.
Hari-hari berikutnya, Tsalitsa sudah memegang ponsel pintar dan sibuk mengikuti pembelajaran daring. Ia merasakan kenikmatan dalam kesehariannya karena sudah bisa mengikuti pembelajaran daring gurunya dengan tenang dan lancar. Serasa kenyang walaupun belum makan, setiap hari ponsel pintar yang ada di genggamannya. Saat ini menunjukkan bahwa ponsel pintar menjadi sebuah kebutuhan bagi siswa yang sedang mengikuti pembelajaran daring. Dengan demikian ponsel ibaratnya kebutuhan pokok harus dipenuhi dalam kehidupan pendidikan.
Comments
Post a Comment