MAU POLIGAMI? SILAHKAN, MAS!

 

“Jika seorang suami bak matahari maka si istri mendoakan semoga Allah melindungi dan jika seorang suami bak lilin maka si istri mendoakan semoga kelak menjadi matahari”

Dua puluh tujuh tahun berlalu, tepatnya pada akhir tahun 1994, seorang perjaka bernama Broadin mengikat janji suci bersama seorang gadis untuk membangun rumah tangga bersama. Meskipun pada awalnya belum ada rasa cinta di antara keduanya, dengan yakin menatap ke depan mengarungi bahtera kehidupan bersama. Sebelumnya, antara mereka berdua tidak mengenal sama sekali. Maklumlah, mereka berdua menikah karena perjodohan kedua belah pihak, antara orang tua Broadin dan orang tua si Gadis. Keduanya menerima perjodohan dengan tulus ikhlas.

Pada tahun-tahun pertama pasca ijab qabul, tampak dengan jelas sepasang pengantin baru sangat mesra. Ke mana pun selalu berdua. Boleh dikatakan, mereka berdua memadu kasih layaknya berpacaran dalam nuansa ikatan yang sah. Perjalanan cinta antara keduanya sudah dibalut janji suci dalam ikatan pernikahan. Tidak seperti pada umumnya kaum muda yang memadu kasih dengan latar belakang cinta monyet.

  Pada tahun kedua dari pernikahan mereka, si Istri sering mengeluh pada perutnya. Ketika menjelang waktu menstruasi, muncul rasa nyeri yang sangat melilit pada bagian organ reproduksi. Namun demikian, Pak Broadin sebagai suami kurang memperhatikan bahkan terkesan acuh. Menurut beliau sudah hal yang biasa dialami oleh si Istri. Bersamaan dengan habisnya masa haid maka hilanglah rasa nyeri itu. Sehingga seiring berjalannya waktu, kehidupan mereka berdua seakan tidak ada permasalahan yag sangat fenomenal. Mereka berdua menjalani dengan biasa.

Derita yang mendera si Istri dirasakan sendirian. Serangan penderitaan datangnya ketika keadaan rumah sepi tanpa penghuni. Menangislah si Istri sendirian di rumah. Tak ada yang menemani apalagi ikut merasakan penderitaan. Si Istri tidak berani mengadu kepada sang suami.

Pak Broadin sebagai suami ketika itu sedang menempuh pendidikan sarjana di Malang Hampir setiap minggu pulang pergi antara Malang dan Sarang-Rembang. Pada hari-hari biasa, dia sibuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai guru di salah satu sekoilah dasar. Pak Broadin berangkat dari rumah masih pagi pukul 06.30 dan pulang sudah siang pukul 14.00. Pulang dari tugas istirahat sebentar kemudian melakukan kegiatan di lingkungan sekitar rumah. Sehingga dirinya tidak pernah melihat kondisi rumah, termasuk kondisi istrinya yang semestinya.

Ada fenomena yang aneh menurut kebanyakan orang dalam bahtera rumah tangga Pak Broadin bersama si Istri. Keanehan terlihat pada kondisi kesuburan, sudah hampir tiga tahun belum dikarunia momongan. Perjalanan itu dinikmati berdua dengan enjoy sehingga meskipun ada gonjingan di masyarakat tak pernah dihiraukan sama sekali. Kahidupan mereka berdua yang selalu tampak harmonis layak menjadi contoh bagi pasangan hidup dalam rumah tangga.

Hingga pada suatu ketika saat si Istri datang bulan. Kebetulan hari itu, hari Ahad yang merupakan hari libur umum bagi aparatur sipil negara. Si Istri kedapatan menangis sejadi-jadinya di hadapan Pak Broadin sebagai suami. Seperti sebuah kesempatan bagi si Istri untuk mengungkapkan penderitaan yang menderanya berbulan-bulan. “Periksakan aku ke dokter, Mas!” ada sebuah permintaan dari si Istri di sela-sela tangisan.

Pak Broadin terkejut mendengar permintaan istrinya yang dalam keadaan menangis. Tidak seperti biasanya dan baru kali ini dia melihat dengan mata kepala sendiri, istrinya menangis. Pak Broadin membelai si Istri dengan mesra agar segera reda tangisannya. “Kita periksa ke mana?’ sahut Pak Broadin di sela-sela keterkejutan dan tangisan si Istri. .

“Terserah, ke Rembang atau ke Pati!’ pinta si Istri pasrah. Tangisan si Istri mereda tetapi matanya masih berkaca-kaca. Suasana menjadi hening seketika. Wajah si Istri memancarkan cahaya belas kasihan. Dirirnya sangat berharap ada perhatian dari Pak Broadin sebagai suami.

Dalam benaknya, Pak Broadin merasa ada kesalahan yang cukup mendalam. Dirinya tidak meperhatikan kondisi si Istri sama sekali. Sudah tiba saatnya, dia harus memperhatikan dan mencari jalan keluar untuk mengakhiri penderitaan istrinya. “Oke, kita ke Pati!” jawab Pak Broadin mantap. Pak Broadin berencana akan memeriksakan si Istri ke dokter spesialis kandungan yang sangat terkenal di daerah Pati.

Si Istri mengikuti saja kemauan Pak Broadin sebagai suaminya. Yang pailing pokok bagi dirinya mendapat perhatian yang serius dari sang suami. Ke mana pun, dirinya diperiksakan tidak menolak. Dengan penuh harap agar segera sirna penderitaan yang selalu menyerang dirinya. Sepakatlah mereka berdua periksa ke dokter spesialis kandungan di Pati.

Ada pengalaman yang cukup unik dalam perjalanan ke Pati. Selama ini, mereka berdua tidak tahu kalau dokter spesialis kandungan di Pati tidak membuka praktik partikelir pada waktu pagi. Buka praktik hanya pada waktu sore atau pukul 15.00 – 20.00. Padahal sudah terlanjut bernagkat pagi sekali dari rumah dengan harapan mendapat antrean agak sedikit lebih awal. Sehingga mereka berdua harus menunggu seharian penuh di teras rumah dinas dokter. Di sela waktu menunggu, keduanya sempat mencari warung makan untuk makan siang.

Dalam rumah makan yang terbilang cukup megah, ada pengalaman yang sangat berharga bagi si Istri. Ketika disodori menu makanan, dia memilih makanan “swikee”, tetapi dicegah dan dilarang oleh Pak Broadin. Si Istri tetap bersikukuh pada pilihannya. Sedangkan Pak Broadin memilih gulai kambing. Nah, ketika makanan siap tersaji di meja dan saat itu juga terdengar suara anjing menggonggong, seketika selera makan si Istri hilang tak berbekas. Pak Broadin juga mengikuti jejak si Istri tidak jadi manyantap makanan yang sudah tersaji di hadapannya.

Dengan nada halus dan sopan santun, Pak Broadin menyampaikan alasan tidak jadi makan. Kemudian semua makanan yang sudah terlanjur disajikan tetap dibayar. Mereka berdua meninggalkan warung makan kembali ke teras rumah dinas dokter kandungan. Di sana, keduanya beristirahat di kursi sofa yang sengaja dipasang untuk pasien di teras rumah. Untuk mengganjal perut yang mulai keroncongan, si Istri membeli jajanan dari penjual asongan yang berkeliling di sekitar rumah dinas dokter tersebut.

Tibalah saatnya, dokter spesialis kandungan melakukan pemeriksaan terhadap kondisi dalam perut si Istri. Melalui USG, tergambar dengan jelas bahwa block ovarium si Istri terserang kista. Saran dari dokter untuk menghilangkan rasa sakit kistanya harus diangkat kistanya melalui operasi. Jika tidak segera dioperasi akan sekalu menggangggu kesehatan si Istri. “Bagaimana, si Istri siap dioperasi? Rundingkan dulu berdua!” ada sebuah saran dari dokter spesialis kandungan.

Si Istri hanya bisa diam, dalam hatinya gundah gulana karena merasa kurang enak kepada Pak Broadin. Akan tetapi, ia sangat bergantung pada Pak Broadin sebagai suami. Untuk sementara Pak Broadin juga belum bisa menjawab dengan pasti. Mereka berdua akhirnya mohon diri dari ruang praktik dokter kandungan. Sebentar kemudian sudah berada di atas jok sepeda butut.

Keduanya berboncengan menyusuri jalan untuk pulang ke rumah. Tanpa banyak mengeluarkan kata hingga akhirnya waktu maghrib tiba. Pak Broadin dan si Istri berhenti di sebuah masjid di salah satu kota antara Pati dan Rembang. Selesai menunaikan kewajiban menghamba kepada Sang Ilahi, mereka bertemu dengan seseorang, yang ternyata sahabat si Istri. Lalu ngobrol santai di teras masjid hingga waktu isya tiba. Setelah salat isya, mereka berpisah dan Pak Broadin bersama si Istri melanjutkan perjalanan pulan ke rumah.

Kurang lebih satu setengah jam lama perjalanan, pak Broadin bersama si Istri nyampe di rumah. Seperti biasa, Pak Broadin melakukan kegiatan rutin mempersiapkan segala sesuatunya untuk menjalankan tugas pokok dan fungsinya sebagai guru untuk esok hari. Dia berngkat ke skolah untuk mengajar anak bangsa di sebuah sekolah dasar di wilayah Kecamatan Sarang Kabupaten Rembang. Sementara itu, si Istri mencari kesibukan di rumah dalam keadaan sepi.

Di suatu sore ketika senja sedang merambat turun ke peraduan, ada seorang tamu di rumah Pak Broadin. Beliau seorang tenaga medis yang masih kerabat si Istri. Dari keterangan si Tamu, memang kista yang diderita oleh si Istri harus diangkat melalui jalan operasi. Itu merupakan jalan satu-satunya yang harus dihadapi Pak Broadin bersama si Istri. Akibat bila sudah diangkat, si Istri akan sulit mempunyai keturunan dengan kata lain mandul.

Sebuah fenomena dilematik bagi si Istri yang harus dihadapi dan bagaikan makan buah simalakama. Si Istri harus menghadapi dua pilihan yang sama-sama membingungkan batinnya. Melakukan operasi kista berakibat tidak akan bisa mempunyai keturunan tetapi penderitaan sirna. Sementara itu, keturunan merupakan sebuah kebanggaan bagi setiap insan berumah tangga. Jika tidak dioperasi akan selalu diserang derita berkepanjangan yang ditanggungnya sendirian. Sebagai suami, Pak Broadin juga sangat sulit menentukan sikap terhadap permasalahan yang dihadapi oleh si Istri. Dia hanya bisa diam seribu bahasa, tak ada satu kata pun yang mampu dikeluarkan dari lubuk hatinya. Pilihannnya yang harus ditentukan sangat berat. Antara biaya yang harus dikeluarkan untuk operasi istrinya, tidak mempunyai keturunan dan haruskan membiarkan istrinya menderita yang berkepanjangan. Perang pilihan berkecamuk dalam batinnya sehingga membuatnya dirinya terlihat selalu merenung dengan pandangan kosong.

Pada suatu malam ketika memasuki alam peraduan bersama si Istri, ada sebuah pernyataan sekaligus pertanyaan yang cukup mengejutkan hatinya. Pak Broadin terpaku dengan pandangan ternganga mendengar semuanya dari si Istri. “Mas, apakah kamu tidak menyesal mau memperistri saya?” awal pertanyaan si Istri. Pak Broadin belum mampu menjawab. “Aku penuh kekurangan, Mas.” si Istri melanjutkan kata-katanya. Pak Broadin masih terdiam dan belum memberikan sebutir komentar apa pun.

Malam itu seolah-olah malam buat si Istri untuk mengungkapkan unek-uneknya kepada Pak Broadin sebagai suami. Dengan kerendahan hati pernyataan demi pernyataan diuraikan kepada sang suami. Demikian pula beberapa pertanyaan dicecarkan kepada sang suami. Namun demikian, tidak satu pun pertanyaan dijawab oleh suaminya. Hingga ada sebuah pernyataan sekaligus pertanyaan yang cukup mengejutkan bagi sang Suami. “Mau poligami? Silahkan, Mas!

Keterkejutan Pak Broadin semakin tinggi. Pernyataan tersebut benar-benar serius dari lubuk hati si Istri atau hanya sekedar basa-basi. Pak Broadin tidak begitu saja menerima untaian kata bernada permintaan meskipun itu disampaikan dengan sunguh-sungguh oleh si Istri. Ia lantas memberikan jawaban untuk menyemangati jiwa si Istri. “Apakah dengan poligami akan menyembuhkan penyakitmu? Atau kita begitu saja dapat keturunan atau anak?” demikian komentar Pak Broadin balik bertanya kepada si Istri. “Deritamu juga deritaku, kita rasakan bersama dan kita berusaha bersama agar rantai penderitaan segera terputus.” 

Dengan tenangnya, Pak Broadin menjelaskan bahwa semua itu sudah ada yang mengatur terhadap nasib seorang manusia. Dia mengajak si Istri untuk tetap berusaha dan berdoa kepada Sang Ilahi agar disembuhkan dari penyakit dan diberi keturunan. Di akhir penjelasananya, Pak Broadin mengajak istrinya berobat alternatif agar kistanya hilang tanpa harus operasi. Si Istri pun dengan mantap mengiyakan ajakan Pak Broadin. Dengan keyakinan tinggi si Istri menatap masa depannya bersama sanga suami tanpa ada aral yang menghadang di depannya.

Pada akhirnya, si Istri mengikuti ajakan Pak Broadin sebagai suami berobat alternatif ke seorang tabib yang berada di daerah Juwana. Dengan tekun mereka berdua selalu datang di rumah tabib secara berkala. Di sana sang Tabib memberi obat herbal dari tumbuh-tumbuhan. Satu porsi herbal untuk 2 hari, jadi setiap membeli 10 bungkus untuk 20 hari. Habis seluruh porsi, Pak Broadin bersama si Istri mendatangi tabib lagi. Begitu perjalan berobat si Istri hingga tak terasa sudah satu tahun lebih telah menempuh perjalanan pulang pergi antara Juwana – Sarang.

Pada suatu waktu, Pak Broadin mengajak si Istri untuk memeriksakan perutnya ke dokter spesialis penyakit dalam di Rembang. Berdasarkan hasil USG, tergambar dengan jelas kondisi indung telur si Istri sudah bersih dan tidak ada kista lagi. Tetapi keraguan masih menghinggapi perasaannya sehingga minta si Istri untuk periksa kandungannya ke dokter spesialis kandungan juga di Rembang dan memperoleh hasil yang sama dengan dari dokter penyakit dalam. Bahkan dokter spesialis kandungan menyatakan peluang untuk memiliki keturunan sudah terbuka lebar. Jika mereka berdua mau, dokter spesialis kandungan siap membantu. Berdasarkan perhitungsn dokter, biaya yang harus dikeluarkan oleh Pak Broadin tidak sedikit pada tahun itu. Menurut ukuran kehidupannya, estimasi biaya yang dikeluarkan oleh dokter spesialis kandungan sangat besar dan terasa memberatkan dirinya bersama si Istri.

Beruntunglah Pak Broadin memiliki seorang adik kandung yang sedang mempuh pendidikan  di kota Semarang. Dari adiknya, dia mendapat informasi ada seorang tabib di Semarang yang dapat membantu menyembuhkan penyakit bahkan dapat membantu kesuburan. Jalan alternatif lagi yang harus ditempuh untuk menyembuhkan penyakit dan membantu kesuburan kandungan. Dengan tekad bulat tak mengenal lelah dan tanpa menghitung biaya yang harus dikelurkan, ditempuhlah perjalanan berobat ke kota Semarang dengan satu tujuan, yaitu sembuh dan punya keturunan.      

Beban tanggung jawab Pak Broadin sebagai kepala keluarga memang berlipat. Pada saat yang bersamaan, dirinya harus membiayai kebutuhan hidup bersama si Istri. Harus membiayai berobat si Istri, harus membiayai keperluan tugas pokok dan harus membiayai pendidikan sarjananya. Namun demikian, semua itu dijalani dengan hati ikhlas dan tawakkal kepada Sang Ilahi. Dengan tulus ikhlas, dirinya mengabaikan tantangan dari si Istri untuk berpoligami agar memiliki keturunan.

Puji syukur alhamdulillah patut tersanjungkan ke hadirat Sang Ilahi karena tekad yang kuat dengan usaha sungguh-sungguh dan dilandasi hati yang ikhlas akhirnya dikabulkan oleh Sang Ilahi. Si Istri diberi kenikmatan berupa kesembuhan dan bebas dari serangan derita kista. Juga diberi kerturunan 3 anak secara berurutan cewek, cowok dan cewek dengan tenggat waktu antara 3 hingga 5 tahun. Ihda, Tiyasna dan Tsalitsa telah menghiasi indahnya mahligai rumah tangga mereka berdua tanpa harus berpoligami. Berbahagialah hati Pak Broadin bersama si Istri.  yang selalu tampak harmonis layak menjadi contoh bagi pasangan hidup dalam rumah tangga.



       

Comments

Popular posts from this blog

WA Grup untuk pembelajaran daring

Pengalaman Menjadi Guru

Kabar yang Masih Samar