ANUGERAH TERINDAH

 

Pagi itu, langit menghampar biru dengan sempurna. Tak segumpal pun awan bergelayut di sana. Mentari baru beranjak dari peraduan mimpi. Sinarnya terpancar lepas tak berbatas menghangati seluruh isi bumi. Menyirami benih bunga mekar membawa wangi semerbak membahana di taman. Datang sebagai hidmat nyalakan lentera asa tetap kokoh melangkahkan kaki tunaikan tugas penuh dedikasi. Menggerakkan jiwa menerawang lorong waktu terpacu melaju secepat kilat pecahkan pandang lintas dimensi pagi.  

Pagi itu, Sang Dwija sudah siap berhias membalut diri lengkap dengan Pakaian Dinas Harian untuk geliat diri menunaikan tugas, biaskan memori sebagai abdi negara. Pengabdian yang cukup panjang berdiri sebagai sosok tangguh berdedikasi tebarkan informasi sarat ilmu yang dijalani kurang lebih 30 tahun lamanya. Atas kuasa Ilahi deskripsikan alam, narasikan histori sudah berpuluh-puluh pribadi mahluk berhati meraih sukses berkat ilmu yang diberikan dengan tulus ikhlas dan penuh dedikasi.

Dengan senang hati walaupun tertatih terasa letih, Sang Dwija tak kan pernah menghentikan langkah menuju arah yang tak bertepian. Keyakinan yang terhembus menerobos relung hati untuk mengabdi pada negeri. Kesetiaan roda-roda dedikasi menemani dalam langkah menuju tugas suci dan menghilangkan letih yang menghadang di antara goncangan langkah dan terpaan angin. Kembara asa kuatkan hati dan kokohkan jiwa untuk merengkuh bahagia dalam hidup.

Dalam waktu yang cukup singkat, tidak ada lorong waktu yang harus ditempuh lgi sudah sampai di tempat tugas. Sang Dwija mengarahkan roda dedikasi untuk bersandar di tempat parkir. Kembara hati kuasakan kaki melangkah dan teguhkan diri memasuki ruang guru yang baru saja direhab oleh pemerintah.

“Assalamu’alaikum.” tutur sapa Sang Dwija ketika kaki berpijak di depan pintu.

“Wa’alaikum salam.” sahut serempak dari dalam ruang guru.

Tangan-tangan hangat menggapai diri Sang Dwija dengan belenggu kasih sayang yang mengikat erat tali persahabatan. Gejolak raga memaksa diri mengambil kursi untuk duduk bersahaja dalam cengkerama bersama guru-guru yang lain. Masih ada waktu 15 menit, ronta jiwa kuasakan bibir mengeluarkan untaian tukar kata dan ucap sesama dalam hidmat peraduan bincang bersama membahas kemajuan dan perkembangan sekolah yang menjadi tempat mengabdi untuk negara dan masyarakat.

Semburat tawa tanda bahagia hilangkan sedih tanpa sandiwara dalam cengkerama bersama. Kelakar segar begitu saja keluar dari bibir-bibir mungil menghilangkan letih dan mengajak berbaur hati dalam pandang batas cakrawala. Belum puas ucap tawa dan sungging senyum kembang tengah bibir harus terhenti oleh alarm tanda mulai tunaikan tugas suci tebar informasi sarat ilmu kepada mahluk berhati di dalam kelas. Sang Dwija mendapat pembagian  tugas mengajar kelas III yang kebetulan ruang kelasnya tidak begitu jauh dari ruang guru. Hanya beberapa langkah gejolak raga sudah memijakkan kaki di depan kelas dan ronta sukma kuasakan tangan untuk membuka pintu.

Wajah girang menyemburat sisip sukma atas penerimaan kehadiran Sang Dwija di dalam kelas. Datang sebagai hidmat pada sosok mahluk berhati dan hormat atas diri gemilang binar tersungging senyum simbol keteduhan. Berbekal keyakinan yang semakin menggema di seluruh ruang batin, melangkah kecil menemui takdir mendidik siswa. Beliau sadar dengan tulus ikhlas di sepanjang lorong waktu menjalani proses pembelajaran bersama siswa yang dengan setia menuggu kehadirannya.

Dengan segenap kemurnian jiwa, Sang Dwija mengajak siswa melangkahkan kaki keluar dari ruang kelas. Gejolak sukma paksa jiwa ajarkan langkah menuju jalan cerah yang terarah dengan alam takambang sebagai media untuk merdeka belajar. Semburat tawa menyeruak pertanda bahagia dengan ungkap berucap, “Asyiiik!”

“Kita ke mana, Pak?” ada kuasa jiwa keluarkan tanya kepada Sang Dwija.

“Ke lapangan dan sawah di sekitar sekolah.” kuasa jiwa keluarkan jawab.

Rengkuh raga asa jiwa, bangun marga hadap dimensi waktu kuasa pandang pada bentang safana. Rasa segar singgah dalam benak menikmati hijau menghampar di sawah. Sejauh kuasa pandang, terlihat anak-anak berjalan riang di atas pematang, canda dan tawa tanda bahagia hilang rasa letih seketika. Hari itu, mereka gerakkan raga membangun lagika bersama belajar tentang lingkungan.

“Kuasa Ilahi, kita diberi anugerah tercipta lingkungan nan asri yang secara alami, seperti gunung dan sungai. Sebagai manusia diberi olah pikir dan olah rasa untuk menata lingkungan menjadi asri nikmat untuk kehidupan, seperti sawah dan lapangan.” gerak jiwa Sang Dwija mengeluarkan untaian kata untuk memperjelas kepada siswa tentang lingkungan.

Terkesima hakiki hati dalam setiap gerak rona pandang pesona dunia menghias simpul bahagia. Anak-anak bersandar di bibir pematang sembari bersimpuh dengan penuh kesadaran menikmati anugerah Sang Ilahi. Beberapa saat kemudian, kemabara hati dalam diri siswa paksakan kaki melangkah untuk menyusuri pematang dengan tujuan lapangan desa. Bebarapa saat gejolak pandang melihat hewan terbang melintas di udara, dengan sayap dibalut warna hijau. Ada pula sejenis mahluk tak ngomong dibalut warna hitam kecoklatan. Kuasa sukma menggerakkan tangan untuk menangkap hewan itu.

“Kuasa Ilahi memberi anugerah hewan beragam warna yang bisa dinikamti oleh mahluk berhati dan untuk dinikmatkan kepada sesama hewan. Ragam hewan ada yang sukanya menikmati tumbuh-tumbuhan, ada yang suka sesama hewan, dan ada pula yang kenikmatannya pada hasil tumbuh-tumbuhan dan hewan.” pesona kata menebar pengetahuan tentang ragam makanan hewan di dunia.

Tepat pukul 09.00 WIB, saat siswa menikmati waktu bercengkarama sembari menikmati jajanan di kantin sekolah. Sang Dwija melangkah gontai dengan ringan menyusuri lorong tepian lapangan. Tak tahu harus berapa langkah yang ditempuh sepanjang jalan yang dilalui menuju sekolah. Sementara anak-anak sudah bercerai-berai menghilangkan diri dan membuat padangan mata menatap pada ruang hampa cakrawala.

Gemetar semua gerak tubuh dengan pandangan mata menatap tajam ke dalam ruang guru. tanpa sosok mahluk sempurna. Sang Dwija tak tergerak, tergeletak dengan segala asa yang tak bisa beronta, terkulai diri membuka mata fokus pandang sesaat sekitar. Bersandar di kursi, terdiam dengan tekanan batin yang menikam.

Gejolak raga gerakkan kaki melangkah ke ruang kelas, sejenak fokus pandang pada lorong di sepanjang koridor menuju ruang kelas III. Alangkah terkejutnya, ketika melihat ruang kelas yang kosong tak berpenghuni. Diedarkan pendangannya ke seluruh pojok ruangan bahkan diintipnya lorong-lororng meja tatap kosong. Pagi itu, terkulai lemas bukan karena lelah tetapi terhumbam hampa tak ada sambutan sama sekali.

Sang Dwija berbalik melangkah dengan ronta sukma yang diselimuti rasa penasaran. Bergerak kembara hati memaksa kaki melangkah ke ruang-ruang kelas lain. Terpesona dengan wujud sadar di ruang kelas lain juga tidak ada siswa yang mengikuti proses pembelajaran. Gerak langkah kaki kembali ke ruang kelas III dengan putus asa dan berharap tidak terjadi sesuatu dengan siswa. Diambilnya kursi guru untuk duduk di depan pintu sambil menikmati semilir angin pagi yang berhembus sepoi.

Kelana hati bergerak mengisi kekosongan waktu dengan membaca buku yang kebetulan ada di meja guru. Sudah cukup lama perjalanan waktu tetapi belum ada satu siswa pun yang datang dan masuk kelas. Menghirup udara dalam-dalam dan ditahan sebentar dikeluarkan pelan-pelan untuk menghilangkan kerisauan hati. Sang Dwija beranjak menuju ruang guru untuk mengambil waktu istirahat tetapi masih seperti sebelumnya tak satu pun guru di sana. Yang ada hanya kursi-kursi tak berpenghuni sebagai teman.

Suasana benar-benar terasa sunyi di sekuruh pelosok sekolah karena semua siswa belum ada yang kembali memasuki jam pelajaran setelah istirahat. Sang Dwija, tinggal sendirian meratapi nasibnya yang dirasakan ada kesialan karena ulah siswa. Penjaga Sekolah merasa heran melihatnya masih termangu di kursinya dengan pandangan kosong seperti kosongnya ruang guru dan runag kelas yang seharusnya ada proses pembelajaran.

Kobar emosi, ajak diri silaukan mata pada sosok mahluk berhati datang tak diundang, tanpa wawasan memarahi Sang Dwija. “Kalau bapak tidak sanggup mengajar anak-anak, ngomong kepada kami sebagai komite sekolah. Kenapa anak-anak masih dibiarkan bermain di rumah saya, Pak? Mereka tu, hanya bergurau membikin bising lingkungan.” Harap sejuta pandang atas ajar kuasakan hadir ketenangan hati dalam kelana jiwa. Sendiri terpaku di sudut ruangan dengan hati nan sunyi berbalut emosi mendengar untaian kata marah dari wali murid.

Ronta daya, jerit tanpa suara, tangis tanpa air mata, Sang Dwija masih tertunduk lesu terkulai lemas bersandar pada kursi. Hanya mampu fokus pandang pada sosok penuh dengan emosi mengungkapakan kata marah kepadanya. Dalam senyap dihembuskan nafas demi nafas tanda masih ada kehidupan pada dirinya. Mencoba berpikir tenang dalam diam dan menunduk pasrah ke mana arah kemarahan wali murid. 

Tak lama kemudian terjadi kegaduhan di halaman sekolah, sekelompok anak dengan pakaian bebas dan sambil bernyanyi dengan nada tak beraturan berjalan berhamburan di halaman. Sang Dwija menengok keluar dan memang benar adanya, seluruh siswa sekolah dengan langkah gontai berjalan menuju ruang kelas III. Geliat diri hentakkan kaki melangkah keluar dari ruang guru dan fokus pandang seksama pada siswa yang baru berdatangan dan berdesakan masuk ruang kelas. Dengan tertatih melalui lorong koridor dengan kembara hati berbalut emosi dan bercakap dengan bimbang mngayun langkah ke ruang kelas III.

Ditemani bimbang dalam peristirahatan, datangkan emosi semakin dalam. Ketika kaki sudah berpijak di dalam ruang kelas, Sang Dwija meluapkan amarah kepada seluruh siswa. Bentakan demi bentakan terhentak keluar dari lorong hati kecil terbentang dalam kelana logika penuh dengan emosi. Seluruh siswa diam dalam kendali diri menanggapi dengan pandangan datar dan tak menghiraukan amarah dari gurunya.

Belum reda kemarahan Sang Dwija, datanglah tiga anak nyelonong masuk ruang kelas III. Serentak semua siswa menyanyikan lagu ulang tahun sambil bertepuk tangan. Ketiga anak tersebut yang tak lain adalah anaknya sendiri, yaitu: Ihda, Tiyasna dan Tsalitsa membawa kue ulang tahun. Seketika suasana ruang kelas III berubah menjadi meriah dengan nyanyian dan tepuk tangan serentak membahana di dalam ruang kelas.

Selesai menyanyikan lagi ulang tahun serta potong kue yang dibagikan kepada semua yang hadir, terdengarlah alunan sebuah lagu “Hymne Guru Pahlawan tanpa Tanda jasa”.



 

Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru

Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku

Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku

s’bagai prasasti terima kasihku ‘ntuk pengabdianmu

Engkau bagai pelita dalam kegelapan

Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan

Engkau patriot pahlawan bangsa,

Tanpa tanda jasa

 

 
 

 

 

 

 

 

 

 


Suasana semakin meriah dengan kehadiran bapak dan ibu guru yang serentak mengucapkan “Selamat Ulang Tahun” dan ikut menyanyikan lagu “Terima kasihku”.

 

Terima kasihku kuucapkan

Pada Guruku yang tulus

Ilmu yang berguna selalu dilimpahkan

Untuk bekalku nanti

Setiap hari ku dibimbingnya

Agar tumbuhlah bakatku

Kan kuingat selalu nasihat guruku

Terima kasihku kuucapkan

 

 

 
 

 

 

 


Perang batin dalam pergolakan jiawa, antara emosi dan bahagia. Bangun sadar dalam kelana logika menahan amarah dan bersimpuh dalam relung hati berhiaskan syair lagu puja. Sang Dwija seperti orang tak sadarkan diri karena lupa hari kelahirannya. Berkali-kali mendesah pelan sembari mengucapkan terima kasih kepada semuanya karena memori hibur diri sungging hikmah di ujung hati mendapat anugerah terindah dalam nuansa semenjana.

Comments

Popular posts from this blog

WA Grup untuk pembelajaran daring

Pengalaman Menjadi Guru

Kabar yang Masih Samar