SENANDUNG CINTA DI KALA SENJA

Sore itu.

Sang mentari perlahan mulai turun ke peraduan di cakrawala. Semburat merah merona bergelayut di ufuk barat. Pandang terawang tatap kemuning datang. Alunan ombak berkejaran menerjang pasir di pantai. Butiran air berbusa putih menerpa karang yang berdiri kokoh di ujung pantai

Aku tersandar di permukaan cadas karang terjal. Kupandang langit tampak redup jauhi terang. Dalam temaram angkasa, aku enggan beranjak. Berat rasanya meninggalkan suasana pantai di kala senja.

“Baaaaang,” terdengar suara merdu manja memanggilku.

Aku terdiam tak kuasa ungkap kata. Datang sebagai hikmat suara sosok wanita hormat yang duduk di karang sebelahku. Aku masih terduduk lesu dan hanya bisa memandangi permadani biru terbentang di kaki langit. Belum kutemukan ratu fantasi dalam dimensi waktu, namun emosi masih terkendali.

“Baaaaang,” terdengar lagi panggilan manja untukku.

Aku masih terdiam dan tak bergeming. Tak berdaya mengungkap gelora jiwa dalam menjawab. Kupandangi fatamorgana senja di kaki langit biru. Cakrawala masih setia menemani sang mentari akan turun di peraduan. Awan kelabu bergelayut di angkasa raya menjadi saksi kebisuanku.

“Baaaaang,” untuk ketiga kalinya sosok wanita di samping memanggilku dengan mesra.

“Yaaaa,” hanya itu yang keluar dari mulutku.

Terdiamku menyekat jiwa ungkap kata. Dalam diam hanya bisa memaksa bertahan. Tak bergerak dan tak beranjak. Kokohkan diri tetap terduduk di atas batu karang. Terpaan angin senja menghujam di wajah. Ronta raga menyibak wajah yang terkena percikan busa gelombang air laut.

Kembara hati dikejutkan tangan hangat berpegangan pada bahuku. Geliat diri paksa bergerak tagakkan kaki tetap berpijak pada cadas karang. Deru nafas lirih berhembus di telinga. Bangkitkan hasrat tengokkan mukaku ke belakang. Sekilas pandang mata menatap seraut wajah layu. Sungging senyum merekah mengembara di bibir merah merona.

“Ada apa?” Aku paksa kuasa bibir mengeluarkan sebuah pertanyaan kepadanya.

Tangan-tangan hangat meraih dan menjamah diriku dengan balutan penuh kasih sayang. Terpaan nafas sang gadis terasa setia menunggu ungkapan kata dariku. Tak kuasa menghirup udara senja di tengah titik air percikan gelombang laut. Gelora jiwa mengantar tanganku menggapai dua tangan.

Dalam diam, berkobar emosi mengajak aku mendekap dirinya namun masih dalam kendali jiwa suci. Dalam penglihatan normalku, terlihat seraut wajah memancarkan cahaya kedamaian dalam dirinya. Aku pasungkan segala ronta jiwa dan raga. Aku redam segala rasa maksud telusuri nikmat raga bergelayut dalam dekapanku. Aku hanya bisa terdiam dan memancarkan sorot mata perlindungan sejati.

“Apakah kamu tidak merasakan seuatu dari diriku, Bang?” sebuah pertanyaan terungkap dari bibir manis Sang Gadis di pelukanku.

“Apa yang harus kurasakan dari dirimu?” Dalam benakku sisakan misteri jawaban yang berbuah pertanyaan. Aku berada di simpang jalan menuju tautan diri yang galau penuh rasa takut dosa. Aku hanya bisa menunggu reaksi dalam rimba dimensi sukma dari sosok yang bediri tegak di depanku.

Waktu terus berjalan mengungkap misteri dimensi alam dari Sang Pencipta. Pandang langit masih tetap semburat merah merona diringi gemuruh ombak di atas air yang mulai pasang. Karang kupijak terengkuh air laut setinggi mata kaki. Dengan sabar kutunggu tersibaknya misteri dari gelapnya lorong jiwa yang hanya bisa menatapku tajam.

Ronta jiwa tanpa daya mamaksa sosok gadis terduduk lesu di atas karang penuh air laut. Hanya mampu mengeluarkan desahan panjang. Lama dia tertegun dan larut dalam ilusi yang dihiasi fatamorgana permadani biru. Dalam redup tak kuasa merasakan basah celana karena sapaan air laut.

“Sepertinya kamu mengacuhkan aku, Bang,” terungkap untaian kalimat menusuk kalbu.

Dalam senyap kuhembuskan nafas panjang untuk mengungkap misteri dalam kembara hati. Aku mencoba meminggirkan naluri buas dalam wujud mahluk berbudi. Muncul gelora jiwa diiringi rasa kebimbangan untuk mengungkapkan sebuah jawaban. Dalam diamku, ada jerit tanpa suara dan hanya mampu memandang langit yang mulai redup. Dua dimensi jawaban yang menjadi dilema bagi diriku.

Kuhembuskan nafas demi nafas di bawah kendali alam sadar. Aku hanya bisa memendam gemuruh nafsu dan meredam gemuruh emosi ketika di bawah keterkejutanku, raga terguncang keras. Tiada dekap karena terlepas sehingga tidak jadi dekat. Kutatap rona wajah dalam sesaat, jelas terpandang sebuah kelelahan dan keputusasaan datang menghampiri jiwa yang masih menunggu penuh asa.

“Bagaimana jadinya, Bang?” sebuah pertanyaan terhujam tajam dalam kalbuku.

Aka hanya merebahkan diri dengan segenap jiwa raga di atas karang. Kupandang cakrawala tanpa batas kepastian. Terusik ragaku ketika gelombang pasang menerjang karang tempat bersandar. Aku terjebak dalam kedingingan tersapu ombak air laut. Ronta jiwa bangkitkan raga berdekap melalui dua tangan. Gerakan bibir menyekat suara tak bisa keluar dengan leluasa di angkasa.

“Apa maksudmu?” sebuah pertanyaan terungkap dari bibirku yang kelu dan berdesir kedinginan.

Pandangku menatap peranjat sosok gadis yang berdiri di sampingku. Raga seketika bergoyang karena resonansi dari batu karang tempat berpijak dua sosok di atasnya. Gelora jiwa coba tenang dan sadarkan diri atas segala kemungkinan. Tak kuasa aku membuang pandang ketika kepala sosok gadis tak berhijab bergelayut di bahu. Rambut panjang terurai menghias alam senja. Melukiskan sebuah fenomena pesona hati.

“Selama ini kita bersahabat sangat erat dan dekat. Kadangkala bangunkan hasrat untuk mengungkapkan sesuatu. Dalam simpang gamang redam segala gelora untuk lebih dekat, Bang.” Dia berhenti mengurai kalimat dan menanti reaksi dari diriku sembari memandang dengan tatapan penuh harap.

Aku masih tak bersuara. Teguhkan raga menahan dingin di senjakala. Aku hanya terdiam. Pendam hasrat keluarkan untaian tanggapan untuk si dia. Redam hati, tahan emosi terdepan harap sejuk dipandang dari sosok yang tetap berdiri di dekatku. Redup jauh dipandang seolah tak mau kutatap sehingga diri dekat dengan hina jauh dari tahta. Lama kutertegun, larut dalam ilusi fantasi yang mulai tak mampu kupahami. Ingin mengurai senyum namun tebas habis juta sebab bibir terasa kering.

“Apa yang ada dalam kembara hatimu, Bang?” lagi-lagi terungkap sebuah pertanyaan yang dilematis bagiku.

Dalam senyap kuhembuskan nafas untuk tahan diri dan memilah jawaban pasti yang pas untuk diungkapkan. Kucoba menikmati temaram senja diiringi bisik angin dingin. Diamku tanda mencoba tenang dalam alam pikiran. Dalam diam kuusahakan sadar meyakinkan hati dan kuatkan jiwa wujud segenap kuasa atas rasa yang menggelora dalam kelana sukma.

“Ada apa maksudmu?” kupaksakan hasrat jiwa mengungkapkan sebuah pertanyaan.

Sosok gadis terdiam diri pasungkan segala ronta jiwa dan raga. Redam segala rasa maksud telusuri jalan kelana hati. Paksakan gerak nikmati peraduan senja penuh kembara. Dia terlelah namun tiada mampu berhenti. Bimbang selalu datang umbar kegamangan dalam lorong waktu. Gemuruh gejolak emosi mendobrak keyakinan diri.

Beriring deburan ombak menerpa batu karang yang mulai lelah. Terungkaplah untaian kalimat bertanya “Adakah rasa dalam kembara hatimu untuk memuja bayang-bayang cinta kepada diriku?”

Kucoba sungging bibir, tebar senyum pada sosok yang datang membawa hikmat. Bisik bayang kuatkan asa menelusuri jiwa. Sorakan penuh pesona datang menemani deru hati, menahan derap hasrat cipta rasa cinta. Gelombang beralun menebar saksi menguatkan hati ungkap kata tanda tanggapan.

“Ada getaran hati telepatikan ucap saat bangkit temukan momen yang tepat. Rendah diri bermodalkan kuasa jelma jiwa tulus nan suci. Belenggu emosi usik dalam relung sanubari, ungkapkan sebuah kembara dalam hati yang terpendam. Terungkap kilauan sejuta cinta di kala senja.”

Semilir angin laut di senja kala, menguatkan jiwa mengungkap untaian kata hati untuk menyanjungkan puji pada sang kekasih. Lama kutertegun dan melamun, larut dalam ilusi hidup yang mulai kupahami seiring datangnya alunan cinta suci. Aku masih terduduk lesu hanya mampu memandang langit tak berbintang. Masih jelas olehku tatapan mata penuh pengharapan untuk kasih sayang. Tediamku tatkala mendengar ucap kata penuh arti. Tercekat mulut tanpa suara tiada yakin saat mendengan suara di balik sungging senyum.

“Terima kasih, Bang.” hanya seuntai frasa yang kudengar dari bibir yang mulai kelu karena kedinginan.

Kupaksa raga tetap tegak berdiri di atas karang. Kukendalikan emosi berburu tali kasih. Teguhkan dalam kerendahan diri, mantapkan jiwa menempuh asa demi cinta. Paksa hati ajarkan langkah menuju jalan yang terarah penuh kecerahan cinta. Pandangku menatap tajam ke padang cakrawala yang dihiasi alunan kepak kelelawar. Hanya bisa menghantarkan mata memandang terbangnya burung-burung camar sebentar menghujam ke pantai.

“Sudah tidak ada cahaya lagi, Bang.”

Sempurna kelana logiku menangkap suasana malam mulai tiba. Nada ucapnya laksana nada terindah yang pernah kudengar. Bola matanya memancarkan sejuta kilau di penjuru rasa. Kusapu lorong waktu dengan pandangan mata, tampak sosok mahluk sempurna.

“Ayo pulang, Bang!” sebuah ajakan mesra menggelayut menerjang relung hatiku.

Kuatkan jiwa paksa kepala mengangguk tanda setuju. Sejurus kemudian kelangkahkan kaki menyusuri air di tepian pantai. Tak kupedulikan basah kuyub baju penuh buih ombak laut menerpa tubuh. Kumulai menuju lorong waktu dengan harapan keberkahan hidup di dunia fana.

Kukais segala hakikat detak langkah sosok gadis yang membuntuti jalanku. Semula beriringan jadi bergandengan.

“Indah rasanya pandang mataku. Bahgai rasa bergemuruh di hati. Tatkala mendengar sebuah kepastian yang telah menjadi misteri dalam kehidupan citaku.” terdengar alunan kebahagiaan diringi gergelayutnya kepala di atas bahu.

“Ada sejuta cinta di senja kala.” hanya seuntai kalimat yang mampu terungkap dengan tetap teguh melangkah.  

Kulantunkan lagu yang cukup terkenal untuk mengiringi langkah kami berdua meninggakan pantai di ujung senja. Tak kuasa hati untuk melepaskan tangan tergandeng erat dalam belaian tanganku.

“Di teluk hatimu ku berlabuh. Kutanamkan jangkar kasihku. Kugulung layar untuk berteduh, bersamamu suratan hatiku. Seandai ada sekoci yang datang, itulah diriku yang berlabuh. Anggaplah kehadiran diriku dalam kesucian hatiku. Kuingin menjadi nahkodamu di dalam lautan cinta. Berlayar sampai ke ujung dunia meuju tonggak-tonggak cinta.”

Comments

Popular posts from this blog

WA Grup untuk pembelajaran daring

Pengalaman Menjadi Guru

Kabar yang Masih Samar