PANSIUNAN DAN TUKANG OJEK

 Bukan jarak yang membuat jauh tetapi sikap yang menciptakan jarak. Bunga mawar bisa menjadi teman,  sahabat bisa menjadi dunia bersama.”

Sepagi itu, Sang Dwija sudah berdiri tegak di terminal kota. Sendirian sedang menunggu kehadiran angkutan umum antarkota dalam provinsi. Tangan kanannya tak lelah menjinjing kardus buah tangan. Sesekali wajahnya menengok ke pintu gerbang ketika ada bus yang datang. Lalu lalang bus antarkota keluar masuk terminal menandakan kehidupan angkutan jalan raya cukup padat.

“Nah, ini dia sudah datang!” celetuknya ketika sebuah bus jursan Semarang memasuki terminal.

Tak lama kemudian, Sang Dwija sudah duduk manis di dalam bus. Sudah ada beberapa penumpang yang asyik dengan kesibukan masing-masing. Ada seorang penumpung yang duduk di sampingnya sedang sibuk dengan handphonenya. Tidak bisa disapa, apalagi diajak ngobrol sangatlah mustahil. Meskipun lumayan banyak penumpang, tetapi suasana terasa sangat sepi. Hanya suara deru mesin bus yang cukup memekakkan telinga meskipun bus melaju dengan kecepatan sedang.

“Rembang, Bang.” Sang Dwija menyodorkan selembar uang kepada kondektur.

Ketika bus tiba di terminal kota Rembang, sebagian penumpang segera turun. Baru sampai di pintu dan belum sempat turun bahkan masih di dalam bus, sudah diserbu oleh beberapa tukang becak dan tukang ojek. Menawarkan jasa angkutan sesuai dengan tujuan akhir para penumpang.

“Ojek, Pak!” ada suara menawarkan ojek.

Sang Dwija menoleh ke sumber suara. Betapa terkejutnya hati, ketika melihat sosok penawar ojek. Seorang perempuan kira-kira berusia 35 tahun mengenakan jaket berwarna cokelat dan syal biru melingkar di lehernya. Tinggi badannya kurang lebih 160 cm dan cukup semampai. Terlihat sangat serasi dengan balutan celana jeans warna biru dihiasi sepatu kets biru juga.

“Saya bawakan ya, Pak.” ucap Tukang ojek seraya mengangkat kardus buah tangan. Sesegera ia melangkah ke arah sepeda motor yang diparkir di bawah pohon rindang.

“Mana tukang ojeknya, Mbak?” tanya Sang Dwija ketika kakinya sudah berpijak di dekat sepeda motor yang tampak baru dan elegan.

“Saya sendiri, Pak.” jawab Tukang ojek seraya menaruh kardus di slanger depan.

 “Hah???” keterkejutan Sang Dwija menghias wajah mendengar jawaban Tukang ojek.

“Ada apa, Pak?” tanya Tukang ojek seraya menyematkan kontak sepeda motor.

Hati Sang Dwija berdesir kencang seraya bertanya-tanya. Pada umumnya, tukang ojek itu laki-laki dan untuk kali ini perempuan. Wajahnya semakin jelas terpampang ketika membuka masker. Sungguh cantik rupawan bak seorang artis sinetron atau buntang film.

“Mengapa ia harus ngojek?” tanya Sang Dwija di dalam hati.

“Mari, Pak!” ajak Tukang ojek.

“Saya yang di depan ya, Mbak.” usul Sang Dwija.

“Hehehehe ...” Tukang ojek tertawa kecil kemudian tersungging senyum di bibir yang merekah.

Sang Dwija menstarter sepeda motor, bunyinya halus nyaris tak terdengar. Perlahan-lahan mereka berdua meninggalkan terminal. Kemudian menyusuri jalan raya menuju rumah Sang Dwija. Laju sepeda motor dibuat pelan karena ada trauma jika melihat laju kendaraan yang kencang.

“Suaminya di mana, kok ngojek sendiri, Mbak?” tanya Sang Dwija di tengah deru mesin.

“Apa, Pak?” Tukang ojek balik bertanya seperti tak mendengar.

“Suaminya kerja di mana?” Sang Dwija mengulangi pertanyaannya.

“Sudah tidak punya suami, Pak.” jawab Tukang ojek.

“Innalillahi, sudah meninggal ya?” tanya Sang Dwija seperti mencari fakta.

“Direbut pelakor, Pak!” jawab Tukang ojek dengan tenang.

Tiba-tiba laju sepeda motor seperti akan oleng karena menerjang polisi tidur. Secara reflek, Tukang ojek berpegangan pada pinggang Sang Dwija. Pelukannya membikin hati berdesir kencang serasa menggetarkan tubuhnya.

“Maaf, saya tidak melihat!” ucap Sang Dwija terasa bergetar.

Tukang ojek hanya menyeringai seraya melepaskan pegangan. “Tidak apa-apa, Pak.” jawabnya dengan tenang yang menenangkan hati.

“Lalu hidup bersama anak ya?” tanya Sang Dwija sejenak setelah posisi netral.

“Belum punya, Pak.” jawab Tukang ojek.

Waktu terasa cepat meskipun laju kendaraan pelan. Saatnya tiba di rumah Sang Dwija. Sepeda motor dihentikan persis di depan pintu yang masih tertutup.

“Masuk dulu, Mbak!” ajak Sang Dwija seraya membuka pintu.

“Iya, Pak.” sahut Tukang ojek sembari membawakan kardus masuk ke rumah.

Sang Dwija menyilakan Tukang ojek duduk terlebih dulu. Ruang tamu yang terkesan asri dan sejuk menjadi tempat singgah bagi Tukang ojek.  

“Namanya siapa, Mbak?” tanya Sang Dwija mengajak perkenalan.

“Saya, Deva .. Pak.” jawab Tukang ojek.

Sang Dwija menyodorkan gelas penuh dengan orange jus.

“Waduh, tidak usah repot-repot ..Pak.” sahut Tukang ojek.

 “Silakan diminum, sudah terlanjur, Mbak! Baru saja saya ambil dari kulkas di belakang.”

“Iya, terima kasih .. Pak.”

Deva menghelas napas panjang seraya mengedarkan pandangannya mengelilingi sudut ruangan. Ada perasaan aneh ketika sempat menengok ke belakang. Di dapatinya suasana rumah yang sangat sepi. Tak ada tanda kehidupan di sana kecuali Sang Dwija yang duduk termangu di depannya.

“Ibuk ke mana, Pak?” tanya Deva.

Sang Dwija menghela napas sejenak sebelum menjawab pertanyaan Deva.

“Ibuk sudah meninggal tiga tahun yang lalu.” jawab Sang Dwija dengan tenang.

“Lalu, Bapak masih dinas?” tanya Deva seperti intel sedang menyelidiki seseorang.

Sang Dwija menjawab dengan jujur jika dirinya sudah pansiun satu tahun yang lalu. Hidupnya sekarang sebatang kara karena ketiga anaknya sudah berkeluarga semua. Masing-masing hidup dengan keluarganya di tiga kota yang berbeda tetapi masih di wilayah P Jawa.

“Beginilah, setiap hari rumah sepi, Mbak” Sang Dwija mengakhiri ceritanya.

Deva tidak menanggapi cerita Sang Dwija. Hanya diam sambil menunggu barangkali ada kelanjutan cerita. Suasana rumah memang terasa sangat sepi dan hanya mereka berdua. Kedua orang berlainan jenis salang mengadu mata. Ketika itu pula, ada senyum tipis merekah di bibir Deva.

“Kamu kalau ngojek itu siang-malam ya. Mbak?” tanya Sang Dwija memecah kesunyian.

“Tidak. Hanya siang hari, Pak.” pengakuan Deva.

“Nah, itu lebih bagus. Kamu kan seorang perempuan, wajah ayu menghias dirimu. Jujur saja, sebenarnya saya tidak rela jika kamu menjadi tukang ojek meskipun itu pekerjaan halal.“ Sang Dwija menghentikan komentarnya untuk menunggu reaksi Deva.

Deva hanya mendengarkan sembari menundukkan wajah tersipu malu. Namun demikian, dia tetap menyungging senyum tipis. Sejenak ditatapnya wajah Sang Dwija dengan mesra.

“Lalu berapa ongkos ojeknya tadi?” tanya Sang Dwija memutus pandangan Deva.

“Terserah, Bapak!” jawab Deva singkat.

Sang Dwija menghunus selembar uang dari sakunya kemudian disodorkan kepada Deva. Uang bergambar pahlawan proklamator berwarna merah yang bikin mata merah siap berpindah tangan.

“Waduh, tidak ada kembaliannya, Pak” ucap Deva seakan-akan menolak uang itu.

“Sudah, diterima saja dan tidak usah dikembalikan sebagai pertanda simpati saya kepada kamu.” sahut Sang Dwija meyakinkan Deva.

“Tapi ...” sambut Deva ragu-ragu.

“Tidak ada tapi-tapian. Dibawa saja, Mbak Deva!” ujar Sang Dwija agak tegas.

“Saya tidak enak, Pak.” sahut Deva memelas.

Sang Dwija tetap memaksa kepada Deva untuk menerima uang itu. Baginya selembar uang kertas itu tidak ada artinya. Dianggapnya uang itu seperti diberikan kepada istrinya. Kalau tidak demikian, hitung-hitung bersedekah.

Dengan berat hati, Deva menerima uang seratus ribu seraya menghaturkan beribu-ribu terima kasih. Jika dihitung dengan ongkos ojek dari terminal memang kembalian masih terlalu banyak. Sejurus kemudian, dia berpamitan kepada Sang Dwija untuk melanjutkan pekerjaannya.

Antara bulan November dan bulan Desember identik dengan awal musim hujan. Ketika Deva hendak menstarter sepeda motornya, tiba-tiba hujan deras turun mengguyur bumi. Dengan langkah tergesa, Deva kembali ke rumah Sang Dwija untuk menhindari guyuran air hujan. Terpaksa menunda pekerjaanya, tak dihiraukan olehnya pelanggan yang sudah menunggu di pangkalan ojek.

“Maaf, saya numpang berteduh!”  Ucap Deva seraya mengambil tempat duduk di teras.

“Oh ya, silakan!” sambut Sang Dwija dengan senang hati seraya duduk pula di sebelah Deva,

Hujan semakin lebat seperti dituang dari bejana. Air menghampar seluas halaman rumah Sang Dwija sehingga tampak seperti kolam pemancingan. Air di selokan tampak mengalir dengan lancar dan derasnya dalam kecepatan tinggi. Sepanjang mata memandang hanya genangan air yang tampak mengalir selayaknya sungai. Jika keadaan sudah begitu, terasa memutus kegiatan kehidupan. Tak satu pun orang tampak berjalan menyusuri gang.

“Waduh, bagaimana ini? Tidak ada akses jalan untuk melanjutkan perjalanan.” keluh Deva.

“Tidak apa-apa, tidak usah galau! Di sisni saja dengan tenang. Lagi pula saya sangat senang jika bisa ngobrol dengan kamu.” sahut Sang Dwija menenangkan hati Deva.

Sambil menikmati hamparan air di halaman dan rintik hujan yang belum reda, mereka berdua ngobrol di teras rumah. Sang Dwija mengambil cemilan dari dalam kemudian disodorkan kepada Deva. Deva seperti tak menghiraukan kehadirannya karena pikirannya yang melayang nun jauh di sana, ke pangkalan ojek.

“Bagaimana jika kamu tidak ngojek lagi, Mbak Deva?” pertanyaan dari Sang Dwija.

“Itu sudah menjadi pekerjaan pilihan saya, Bapak.” sahut Deva.

“Betuuul. Tetapi, saya tidak rela kalau kamu melanjutkan ngojek. Saya ..” suara Sang Dwija berhenti di tenggorokan. Diteguknya tenggorokan yang memang tak berisi. Sang Dwija memandang wajah cantik di depannya. “saya berharap kamu di sini saja bersama dengan saya dan menggantikan posisi almarhum ibunya anak-aanak.” lanjut Sang Dwija sembari mencermati wajah Deva.

Deva menundukkan kepala sejenak, Terlihat wajahnya memerah merona pipinya. Kemudian memandang Sang Dwija dengan malu-malu kucing.

“Tidak harus kamu jawab sekarang, Cah Ayu. Ini bukan cerita fiksi yang penuh rekayasa tetapi sebuah kisah nyata tentang hati dan pribadi...” ujar Sang Dwija tenang dan agak lirih.

“Iya, Bapak. Saya minta waktu untuk menyelaraskan hati dulu.” sahut Deva gemetar.

“Jangan terlalu lama jawabannya, Cah Ayu!” pinta Sang Dwija.

“Siap, Bapak!” jawab Deva tegas.

“Sebisa mungkin kamu jawab. Seandainya kamu tidak siap menrima atau tidak setuju bilang saja. Saya tidak sakit hati, kok.” pinta Sang Dwija dengan sungguh-sungguh.

Bersamaan dengan permintaan Sang Dwija, hujan pun reda bahkan sudah hilang dan air di halaman sudah habis. Yang di gang juga sudah larut dan bisa dilewati seperti semula.

“Terima kasih, Pak. Saya mohon pamit pulang.” ucap Deva seraya mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Sang Dwija.

Sehabis salat berjamaah, Sang Dwija mengambil sepeda onthel. Mau ke alun-alun kota sembari menikmati malam yang terang benderang. Sepanjang jalan terlihat sedikit berbeda dari hari biasanya. Malam itu, suasana terasa sangat sepi karena habis diguyur hujan. Sampai di sebelah masjid agung, berhenti di depan supermarket. Belum sempat masuk ke dalam handphone berdering nyaring.

“Asslamu’alaikum, Bapak..” ada sapaan lembut dari seberang.

“Wa’alaikum salam, oooh ... kamu Cah Ayu..” balas Sang Dwija dengan mesra.

 “Iya, Bapak.” jawab si penelepon yang ternyata Deva. “Maaf ya, baru bisa menjawab sekarang. Habis dari tadi kelelahan dan tidur menjelang sore. Hawanya mengajak tidur melulu dan sulit bangun, Bapak.” Si Deva menjelaskan agak panjang.

“Tidak apa-apa. Saya merasakan jika kamu tidak berkenan menerima dan saya minta maaf telah mengganggu pikiranmu!” Sang Dwija menjawab dengan datar-datar saja.

“Lho .. lo.. Bapak kok mengatakan demikian?” tanya Deva.

“Bagaimana, Cah Ayu, benar kan yang saya omongkan?” Sang Dwija balik bertanya.

“Tidak benar!” sahut Deva singkat.

“Bagiamana maksudnya?” Sang Dwija dibikin semakin penasaran.

“Saya .... Saya....” tiba-tiba sambungan terputus.

Hati Sang Dwija resah karena belum tuntas sudah terputus.

“Pulsa 50 ribu ke nomor ini ya, Mbak!” serunya kepada kasir supermarket.

Setelah itu, Sang Dwija keluar kembali mengambil tempat di sudut halaman. Hatinya semakin resah karena merasa bersalah telah memaksa Deva dengan pilihan yang sulit untuk ditentukan. Bak pungguk merindukan bulan begitu bunyi peribahasa yang disematkan untuk dirinya. Di usia sudah senja masih memikirkan pasangan lebih muda.

Tiba-tiba handphone berdering lagi. Segera diperiksa dan diangkat dengan semangat berkobar di hatinya. Keresahan yang melanda segera sirna ketika ada sapaan dari seberang.

“Maaf, baru saja kehabisan pulsa dan terima kasih transferan pulsanya, Bapak.”

“Iya, kembali kasih. Bagaimana, kelanjutan jawabannya, Cah Ayu?” sahut Sang Dwija.

“Saya ikut saja dengan apa yang dikehendaki, Bapak.” jawab Deva di sela-sela tangisan.

“Kenapa harus menangis, Cah Ayu?” Sang Dwija penasaran dengan tangis Deva.

“Saya ..... rindu, Pak.” jawab Deva.

Jawaban singkat tetapi jelas dan sudah cukup untuk semuanya bagi Sang Dwija. Membuat hatinya tenang dan senang di kala malam semakin larut. Alun-alun kota sudah senyap, hanya terdengar suara mobil yang kebetulan kewat di jalan raya. Tak lama kemudian, dikayuhnya sepeda onthel yang setia menemani dalam suasana santai. Hatinya sangat senang sehingga karena sangat senangnya tanpa disadari dia bersenandung seperdi orang edan.

Dalam bersenandung, Sang Dwija menyanyikan syair lagu milik penyanyi canpursari “Senajan kowe ngilang ora bisa dak sawang nanging ing ati tansah kelingan.” Maksudnya, tak apalah, meskipun Deva telah menghilang dan tidak bisa dipandang dengan mata tetapi di hati tetap menjadi ingatan. Jika kemungkinan gagal menjadi pendamping hidup, paling tidak sudah terjalin tali persahabatan dan persaudaraan yang sangat erat dan kuat.    

Comments

Popular posts from this blog

WA Grup untuk pembelajaran daring

Pengalaman Menjadi Guru

Kabar yang Masih Samar