CINTA TANPA KATA

 

Esok hari …

Penanda waktu menunjuk angka 7 di tepian pagi. Kuasa telinga mendengar bel bedering tiga kali. Kuatkan raga kuasakan kaki melangkah pasti menyusuri koridor dan menyapa pintu. Ronta sukma kuasakan tangan membuka dan memasuki ruang penuh dengan pemilik hati sebagai mahluk berakal. Detak jantung selalu terpacu melaju mengiringi langkahku menuju sudut ruang. Aku sengaja minggir dari riuh rendah para insan berbudi yang sedang menunggu datangnya sang penebar ilmu.

Kupaksa raga hentikan tapak kaki di dekat kursi sebagai marga sempurna untuk mencari ilmu. Aku tegakkan raga dan bersandar pada tegaknya kursi pambudi ilmu yang berdiri di sudut ruang. Hanya bisa semburatkan renung hati paling dalam dengan ikhlas kembangkan logika siap menerima tebaran pengetahuan. Pandangku berhenti di depan dan menemukan meja kursi yang masih hampa belum berpenghuni.

Sebentar kemudian, mahluk berbudi nan sempurna datang membawa hikmat siap menebar ilusi penuh keilmuan. Kembara jiwa kuasa beri hormat setinggi-tingginya kepada sang penebar ilmu. Terpana tak kuasa berucap dan terpaku tak kuasa berlaku untuk sadar batas diri dan redam gejolak jiwa dalam kembangkan logika penuh tebaran ilmu. Wajah tertunduk merendah serendahnya untuk mendengarkan segala petuah dari sang dwija. Ikhlaskan segala kondisi diri dan relakan semua agar tempuh marga bahagia di kelak kemudian hari.

 Cukup sudah terkungkum dalam tebaran pandang terang mengikuti langkah pembelajaran bersama sang dwija. Kuasa telinga mendengar bel berdering tiga kali untuk kali kedua. Tiba saatnya kembara sukma menenangkan diri dan membenamkan hati dalam lorong dimensi peristirahatan di sekolah.

“Ke kantin, yuk!” terdengar ajakan mesra dari sosok gadis yang telah tegak berdiri di sampingku.

Tatapku tajam menghujam ke wajah polos yang membuat termangu dalam ragu dan tenggelam dalam sendu. Senyumnya merekah laksana taburan madu yang menghadirkan ceria untuk menghilangkan lelah yang sempat singgah. Gerak jiwa paksa raga berdiri tegak kemudian melangkahkan kaki tinggalkan kursi yang setia menemani di setiap hari. Letihku tak terasa dan bimbangku tentukan solusi tindakan dalam menyusuri lorong yang bertepi di sudut halaman. Penuhi tekad, siapkan jiwa dan kokohkan kaki menyusuri jalan menuju kantin tempat rehat bagi segenap siswa.  

“Di sini, Bang!” tunjuk Sang Gadis.

Aku terpaku dalam sekat waktu dan termangu dalam lorong dimensi. Bak sapi dungu, mengikuti ajakan sosok gadis yang dengan setia memberikan perhatian pada diriku. Dalam penuh sadar, aku tertegun pada kekuatan yang bersembunyi di balik kesabaran. Aku mengambil kursi untuk bersimpuh penuh rasa hormat pada Sang Gadis yang bersiap diri di dekatku.

“Pesan apa, Bang?” terdengar penawaran ketika sosok pramusaji hadir di depan kami berdua.

“Kamu apa, Jeng?” kupaksa bibir berucap mengikuti dia.

Bahagiaku berpeluk erat dengan bayang nyata saat pramusaji datang membentang sajian penuh selera. Segala ronta dan rasa menyatu tatap kuasa segera merasakan nikmat bersama. Lenyap lelahku kuasa ubah wujud diri mengungkap puja pada sajian terhampar di meja. Kami berdua tak lekang kembarakan jiwa dan hati menikmati waktu rehat bersama siswa.

“Enak ya, Bang.” terdengar kembara puji pada nikmat.

Aku terdiam pasungkan segala ronta, redam segala rasa dengan maskud terlusuri nikmat di balik hikmat bersama. Yakinku menderu mengusik kelana jiwa namun tak mampu terungkap karena gamang datangkan bimbang. Tanpa sadar kusungging kembang tengah bibir dan ucapkan tawa simbol kepuasan menikmati sajian. Gerak sukma paksa bibir untaikan frasa penuh puji pada sajian di sudut kantin.

“Terasa nikmat untuk sajian di siang ini.” hanya itu yang dapat kuucap seraya bersama menyantap sajian.

  Yakin benarku selalu mendatangkan asumsi kebenaran bagi setiap kembara pemilik hati. Semburat ucap nyata dalam pandang mata Sang Gadis mengikuti keyakinanku tentang nikmat di balik sajian. Tiupan angin timbulkan siulan kecil pertanda kepuasan atas nikmat bersama dalam lorong dimensi waktu. Bisik lirih kecil semburat pasrah hati ungkap makna puas diri bisa rehat bersama sang pujaan hati.

“Kita kembali ke kelas, Bang!’ serak suara bagaikan melodi hempaskan relung sambung jiwa pacu rasa dalam nyata.

Paksa gerak raga tinggalkan gelanggang peraduan hati secepat kilat dengan modal hati dan emosi usai habiskan sajian. Tanpa peduli ucap sesama dalam kelakar asal awak titah diri tapak segala cakrawala nyata. Dengan gontai lanjutkan langkah sepenuh hati menyusuri lorong menuju kelas asal kami berdua. Tiap jengkal langkah terusik dengan kilau bayang saat awal selip diri selalu berada di samping Sang Gadis.

“Ih, panas sekali! Padahal penanda waktu baru menunjuk angka 9 lebih sedikit.” keluh Sang Gadis seraya melangkahkan kaki setengah berlari menuju teras.

“Kuatkan jiwa hadapi segala sengat mentari yang belum seberapa panas seperti sengat api!” paksa jiwa seruak pesan.

Aku tak kuasa menghentikan langkah kaki secepat kilat meninggalkan diriku. Terhenyak hatiku melihat dalam fakta aku berdiri dalam sendirian di lorong dimensi menuju kelas. Dalam kesendirian, paksa raga langkahkan kaki menyusul dia yang sudah berdiri tegak dengan kaki berpijak di depan pintu rung kelas. Dengan tertatih, kulalui lorong panjang tinggalkan kantin peristirahatan dan tak tahu berapa langkah harus kujejakkan.

“Panas ya, Bang?” sebuah ungkap frasa pertanyaan mesra menyambut keberadaanku.

“Kusiapkan dengan lorong waktu dalam segala dimensi takdirku harus melalui panas mentari.” ronta jiwa kuasakan bibir mengurai frasa untuk sebuah pertanyaan.

 Dengan tertatih aku berjalan, tanpa letih aku berjuang, dan dengan lirih aku terpejam. Sementara waktu terus berjalan, aku nikmati segala pandangan, aku lalui dengan kesabaran dan keikhlasan berdamai dengan waktu. Aku telusuri lorong ingin menyatu dengan waktu dalam derita dan bahagia harus berlalu. Aku hanyalah sosok yang berjuang dalam dunia hempasan untuk hadirkan kebahagiaan. Kembara logikaku meniti tujuan dengan moralitas keyakinan penuh dukungan.

“Terusik ragaku tatkala surya menyengat dengan aura panasnya terasa menjalar ke dalam seluruh jiwa.” teruntai dalam sadar membawa kabar bahwa saatnya menyusuri jalan panjang pulang dari sekolah.

“Hari ini, memang mentari dengan garang memancarkan sinarnya seakan-akan membakar seluruh isi permukaan bumi.”  terdengar alunan frasa mendukung kondisi yang kurasa.

 Banggakan kuasa diri tak merugi tinggalkan gelanggang tebaran ilmu. Segala rasa berdiam saksi tak terbantahkan ketika sosok manusia berparas jelita sudah tegak berdiri dan berjajar di sampingku. Menebar senyum dan mengembangkan payung sebagai wujud perhatian demi perlindungan dari terik matahari.

“Terima kasih, Jeng,” kuasa hati ungkap rasa hormat.

“Sama-sama, Bang,” terdengar sahutan hikmat bersama.

 Ronta raga kuatkan kakai menapak berjajar di bawah lindungan paying hitam bersama sang pujaan hati.    

Ijinkan cintaku berbunga di hatimu, biar terus mekar jadi pengalaman. Telah lama kudahaga belaian seorang insan. Semoga bersamamu ceria hidupku. Ku tak akan bersuara walau dirimu kekurangan. Hanya setiamu itu kuharapkan. Ku tak akan menduakan walau kilauan menggoda. Kasih dan sayangku tetap utuh untukmu. Hanya kupinta darimu, setialah selamanya sehingga abadi cinta ini. Sayang, itu kudoakan. Tak mungkin kan terjadi kehancuran cinta, andainya hatimu seperti hatiku.”

Comments

Popular posts from this blog

WA Grup untuk pembelajaran daring

Pengalaman Menjadi Guru

Kabar yang Masih Samar