Biarlah Aku Sendiri

 

Di pagi nan cerah, mentari telah membuka mata dan mengulum senyum yang menghangatkan jiwa dan raga. Menandakan waktu masih tetap berjalan, teriring sapa untuk seluruh penghuni muka bumi dengan ucap ramah,Selamat pagi, sahabat!. Seiring mentari menanjak di ufuk, dimulailah perjalanan mencari kisah tanpa mengusik sang pemilik nama, tetap berusaha memperpanjang asa. Membangun dunia agar tercipta kisah sang pemilik nama di masa yang ada. Tercukupi di titik bahagia, meski harus ikhlas dengan segala yang terasa dan hanya ada yang tersisa berkarya lewat rasa. Mencari sang pemilik nama yang mencipta sebuah karsa untuk berkarya pada hal yang memang nyata ada. Beragam peristiwa turut mewarnai perjalanan dalam keseharian sebagai bumbu kehidupan. Tak banyak alasan untuk sekedar memupuk peristiwa dalam cerita dan tak banyak bahagia untuk sekedar menggandeng jiwa dalam raga. Semua tergantung pada Sang Pencipta yang telah mencipta agar tak ada lara yang menyekat nyawa.

Benar adanya, Broadin si pemilik nama yang membangun cerita dengan olah rasa. Bertubuh kurus agak tebal dengan tinggi badan standar pada umumnya masyarakat di sekitar sangat cocok dengan profesi sebagai aparatur negara. Kata orang, jika seseorang berambut lurus itu memiliki karakter keras kepala dan tidak mau mengalah. Namun demikian, karakter tersebut tidak melekat pada pribadi Broadin meskipun berambut lurus dan bekulit sawo matang. Entah kebetulan atau memang itu sudah pembawaan sejak lahir, prilaku santun selalu tercermin ketika dia mengajar dan berkomunikasi dengan masyarakat di lingkungan sekitar. Tugas sehari-hari, ia mengajar di sebuah sekolah yang berdiri tegak di lereng bukit Gondosari.

Di hari yang cerah penuh bahagia, Broadin mengayuh sepeda butut untuk menjalankan tugas dan perjuangan sebagai aparatur negara. Entah sudah untaian langkah yang ke berapa, nyatanya masih sanggup berjalan menyusuri lereng bukit yang cukup terjal. Melangkah dengan pasti sembari menghitung batu-batu yang tergeletak di sepanjang jalan. Ada bias hidup yang berkeliling dan semboyan sapa yang ramah, menjumpai pada ujung yang berbeda.

“Assalamu’alaikum, Pak Guru!” terdengar salam sapa dari warga yang berpapasan di jalan. Suara nyaring menerobos telinga yang membangkitkan semangat pada langkah untuk mengabdi.

“Wa’alaikum salam.” memberikan balas pada sang penyapa menjadi ruang terbesar untuk menghilangkan kesan manusia egois dan tetap melangkah ke depan.

 Di ujung tanjakan dekat dengan tempat mengabdi pada negeri, Broadin menghentikan langkah untuk beristirahat sejenak. Sambil bersandar pada sebongkah batu yang berdiri kokoh di tepi jalan, dia merenung dalam batin dan bersyukur kepada Sang Pencipta karena telah berhasil menggapai apa yang memang dicita-citakan sedari kecil. Sang Pencipta telah menghadiahi sebuah keberhasilan untuk dirinya atas usaha keras yang telah dilalui dengan ikhlas. Dalam lamunannya, terbayang dengan jelas seberkas perjuangan dalam menempuh pendidikan dan menghadapi ujian seleksi untuk menjadi aparatur negara. Di mana, masing-masing sesi memiliki kisah perjuangan tersendiri bagi dirinya dalam hal pencapaian sebuah keberhasilan.  

“Aku telah merasakan pahitnya dan susahnya sebuah perjuangan. Segalanya telah kutelan sendiri dan tak peduli seberat apapun alam memberikan ujian kepadaku. Alhamdu lillah, aku masih punya Sang Pencipta!” terungkap sebuah ucapan bersyukur diiringi dengan helaan nafas panjang untuk menghilangkan rasa lelah yang mendera di raga.

Dengan sedikit tertatih-tatih, Broadin melangkahkan kaki menuju tempat mengabdi pada negeri. Peluh yang mulai mengalir dan membasahi baju dibiarkan menghilang dengan sendirinya. Tak pernah sedikit pun keraguan hinggap di dalam jiwanya, jika harus menjawab sapaan anak-anak didik yang membutuhkan wejangan penuh dengan keilmuan. Ketika mereka di hadapannya dan menyebut mesra namanya, tak ragu lagi dan tak pernah malu mengulurkan tangan untuk berjabat erat agar terasa lebih dekat dan abadi bersemayam di hati anak-anak didik.

Kurang lebih dua jam berlalu, Broadin menebar ilmu tentang fenomena alam kepada anak didik yang dengan antusias mendengarkan dan mendalami semua peristiwa yang telah terjadi di alam semesta. Ketika matahari dan langit biru enggan muncul dari balik awan gelap, semua yang ada di muka bumi menjadi tertunduk dan kahwatir pada pergerakan alam. Kekuatan alam telah mengoyak seluruh isi bumi lalu porak poranda menjadi puing rata dengan tanah.

“Kita harus selalu berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar kita diberi kekuatan untuk tetap teguh dalam menghadapi segala cobaan akibat dari fenomena alam.” demikian pesan Broadin serta merta mengakhiri pembelajaran bagi anak-anak didik.

“Terima kasih, Pak Guru.” ungkapan rasa terima kasih serempak dari anak-anak didik.

Di luar kelas, suasana berbanding terbalik dengan fenomena yang dipaparkan oleh Broadin melalui video dalam pembelajaran. Cuaca tampak cerah menyajikan hamparan langit biru tak bertepi dan tak segumpal pun awan bergelayut di atas sana. Mentari dengan leluasa memancarkan sinar yang panas seperti hendak membakar seluruh isi muka bumi. Bagi sebagian orang, panas mentari terasa menyengat di kulit tetapi bagi anak-anak tak berpengaruh sama sekali. Di bawah terik matahari, mereka bermain sepuasnya di halaman sekolah dengan beragam permainan dan berbalut wajah ceria seakan tak ada panas menggantung di atasnya.

Broadin melangkah gontai menyusuri koridor yang menghubungkan antarunit gedung di sekolah tempatnya bertugas. Langkahnya berbelok menuju salah satu gazebo yang berdiri tegak di sudut halaman, bukan ke ruang guru tempat bercengkerama saat istirahat tiba. Perasaan galau menggelayut di wajahnya ketika naik dan merebahkan diri kemudian tergeletak tak berdaya seperti orang kelelahan. Sembari menikmati teriknya matahari, dia membayangkan seuatu yang masih menjadi misteri itu seandainya menjadi nyata adanya.

“Tuhan pernah bercerita selalu rindu pada hamba bukan karena sebab. Tuhan selalu ingin hambanya memiliki kebahagiaan dengan memberi apa yang segala dipunya. Selalu ingin hambanya kembali pada-Nya dengan memberi kejutan tak terduga. Semua itu hanya sebuah ilusi mimpi dan seperti tak pernah ada sehingga aku hanya bisa menjalani dan menikmati hingga ada sebuah kejutan di akhir cerita.” keluh Broadin dalam lamunan.

 “Hai, nyepi nih yee!’ sapa salah seorang guru yang biasa dipanggil Kotrek menghenyakkan lamunan yang sedang mengembara di alam pikir dan menggamang di angkasa. “Nikmati dan jalani saja apa yang telah ada di depan bapak!’ pesan Kotrek seraya mendekati Broadin.

“Menurut bapak, apa yang harus saya lakukan selain ketenangan dalam kesendirian?” Broadin balik bertanya kepada Kotrek.

“Yuk, kita gabung di kantor! Barangkali ada solusi untuk menyibak tabir kesendirian bapak.” ajak Kotrek sembari turun dari gazebo.

“Ogah, ah!’ Broadin menolak ajakan untuk ke kantor guru dan bergabung dengan yang lain.

Ada rasa minder hinggap dalam batinnya ketika harus bercengkerama dengan mereka. Berkelebat dalam bayangannya, ejekan teman-teman guru pada dirinya yang masih sendiri ketika yang lain sudah mantap berkeluarga. Ada yang bilang sesungguhnya dirinya tidak laku dan tidak menarik untuk didekati cewek. Sebagian mengejek jika dirinya tidak layak untuk diajak bergandeng dalam kegiatan sosialita sehingga tak ada cewek yang mau dengannya.

Fakta dan nyata adanya, sebenarnya Broadin memiliki wajah cukup ganteng berbentuk oval. Ada kumis tipis menghias bibir menjadi daya tarik tersendiri bagi cewek-cewek di sekitar. Namun entah misteri apa yang melayang dalam batinnya, hingga kini masih jomblo. 

“Barangkali Pak Broadin ini sukanya tidur dan tidak bisa berdiri, maka tidak berani mencari lawan.” sebuah ejekan yang paling menyinggung perasaan dari salah seorang guru.

“Atau barangkali jodohnya masih di taman kanak-kanak atau bahkan sudah meninggal dunia.” yang lain menimpali sembari tertawa kecil.

Setiap ejekan selalu diiringi dengan tawa dari para guru yang tak terkendali. Rasanya hampir gila menghadapi ejekan para guru yang kesehariannya menjadi teman sejawatnya. Tidak hanya menghadapi ejekan tetapi hidup penuh dengan kepura-puraan juga membikin jiwa hampir gila. Pura-pura tenang dalam kejombloan, padahal batin sibuk berperang dengan isi kepala yang berhadapan dengan kondisi hidup dalam kesendirian.

“Benar adanya, setebal apa pun bapak berjuang, jika purnama tak menginginkan bapak, maka bersiaplah hidup dalam kesendirian selamanya.” Kotrek memberikan argumentasi filosofis.

“Jika purnama berkehendak dan mengiakan, matahari bisa apa? Aku masih punya keyakinan jika matahari akan selalu mengikuti kemauan Sang Pencipta. Dan aku yakin hidup ini pasti berjodoh dengan pasangan masing-masing.” bantah Broadin dengan nada santun dan berfilosofi.

“Ah sudahlah, akui saja tidak laku!” sanggah salah seorang guru.

“Ada sebuah kutipan dalam sebuah buku yang berbunyi bahwa batasan segala kemungkinan itu hanya dapat didefinisikan ketika kita mampu menembus ketidakmungkinan.” dengan tersenyum Broadin mengungkapkan sebuah argumentasi kepada guru-guru yang mengejeknya.

“Ah, kamu sok filsofis! Faktanya, kondisi kamu saat ini masih jomblo dan kamu harus segera mencari solusi untuk mendapatkan pasangan hidup!” sergah seorang guru dengan nada agak tinggi karena dirundung emosi.

“Jomblo adalah wujud kesombongan karena merasa persoalan dapat diatasi dengan sendirian tanpa orang lain.” ujar guru yang lain.

“Nikahi tuh filsafat kamu!” sergah guru yang satunya.

“Sudah ditunggu anak-anak didik, tuh!” Kotrek mengingatkan kepada para guru.

“Oh ya, sudah masuk jam kedua.” Broadin segera meninggalkn ruang rehat.

“Manusia memang perlu sedikit nekat dan keras kepala untuk tetap memilih. Harus bisa memecahkan dan menghancurkan sekat-sekat ketidakmungkinan. Sebab bagaimana pun, perlu disadari jika ketidakmungkinan itu terjadi bukan murni, tetapi karena manusianyalah yang menyerah untuk menjadikan yang mungkin.” pesan Kotrek cukup memberikan pencerahan.

“Maka dalam ketenanganku, aku berusaha mencari kekuatan untuk menerjang dan memecah ketidakmungkinan itu agar menjadi mungkin bagi diriku, termasuk dalam hal jodoh.” Broadin membalas dengan santun pencerahan dari Kotrek.

Siang itu, waktunya memberikan wawasan kepada anak-anak didik yang sudah menunggu di dalam kelas. Saat itu, materi pembelajaran tentang pengamalan sila kedua, yaitu ‘Kemanusiaan yang adil dan beradab’. Salah satu butir pengamalannya menjelaskan bahwa setiap warga Indonesia boleh, bahkan harus berhubungan antarwarga atas dasar cinta dan kasih sayang sesama. Pada dasarnya, memang perlu untuk mencintai orang lain meskipun orang itu belum tentu berbalas cinta.

Broadin sering bercerita kepada anak-anak didik bahwa dengan prinsip mengamalkan sila dalam Pancasila, dirinya tidak pernah membalas ejekan dengan emosi. Lebih memilih tenang dan cenderung tidak menghiraukan sama sekali. Hanya bibir merekah menyungging senyum kepada siapa pun yang menghinanya.

“Tersenyumlah bukan karena hidup memberikanmu alasan untuk tersenyum! Tersenyumlah karena senyummu dapat membuat orang lain ikut tersenyum!” pesan Broadin kepada anak-anak didik di akhir materi pembelajaran.

“Bolehkah bertanya, Pak?” pinta salah seorang anak didik.

“Silahkan!” Broadin menyilahkan kepada anak tersebut.

“Apakah setiap manusia wajib mencintai sesama?” tanya anak tersebut.

“Benar, sebagai manusia harus saling mencintai secara positif.” jelas Broadin. 

“Apakah tanda-tanda kalau manusia itu mencintai sesama?” tanya anak itu lagi.

“Banyak sekali tanda manusia mencintai sesama, di antaranya terjalin hidup rukun dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan sekitar. Tanda yang lain, manusia itu memiliki pasangan hidup masing-masing.” Broadin sengaja menghentikan uraiannya seraya mengamati anak-anak didik.

“Mengapa bapak tidak memiliki pasangan? Berarti bapak tidak mencintai sesama, dong!” komentar salah seorang anak didik perempuan dengan nada berkelakar.

Baru saja awal semester kemarin diterangkan tentang ciri-ciri masa pubertas dan kini mendapat materi tentang mencintai sesama, anak-anak didik langsung menanggapinya dengan bahasan tentang dunia remaja, utamanya masalah pacaran. Mereka memaknai bahwa pacaran itu termasuk bagian dari mencintai sesama manusia dan termasuk bagian dari pengamalan Pancasila. Suasana kelas menjadi gaduh dengan ocehan anak-anak yang membahas tentang pacaran. Broadin, sebagai gurunya tak luput menjadi sasaran godaan anak-anak didik karena memang nyatanya masih sendiri meski di usia yang sudah cukup matang.

Satu pertanyaan yang diungkapkan oleh anak-anak didik dan cukup menggelitik di hatinya. Anak-anak didik serempak bertanya “Mengapa Pak Broadin belum memiliki pasangan?”

“Setiap manusia memiliki takdir kehidupan masing-masing. Di antaranya, ada yang sudah menjadi pasangan padahal awalnya tidak saling mencintai. Ada pula yang saling mencintai tetapi tidak menjadi pasangan hidup, padahal sudah pacaran bertahun-tahun. Untuk saat ini, kalian jangan memikirkan dulu tentang mencintai sesama, fokuslah pada belajar mencari ilmu agar kelak hidup kalian berguna!” pesan Broadin serta merta mengakhiri pembelajaran.

“Kok ramai sekali di kelas bapak?” tanya Kotrek ketika berpapasan di teras sekolah.

“Itu tadi, membahas materi yang dikaitkan dengan kehidupan nyata, Pak.” jelas Broadin datar.

Kedua rekan sejawat itu berjalan beriringan menyusuri koridor menuju ruang istirahat di sekolah. Ketika kaki berpijak tepat di depan pintu, Broadin berbalik arah menuju gazebo yang berdiri persis di depan ruang tersebut. Kemudian merebahkan tubuhnya untuk menikmati suasana siang dan lagi-lagi sorot matanya memancarkan lamunan yang tak bertepi.

“Pak Broadin, ke sini sebentar!” panggil Bu Ihda, satu-satunya guru perempuan.

“Ogah, Bu!” sahut Broadin dari gazebo tetap dengan posisinya.

“Kenapa tidak ikut nimbrung di dalam, Pak?” tanya Bu Ihda seraya mendekatinya.

“Malas, Bu.” jawab Broadin sekenanya.

Setiap waktu istirahat selalu digunakan oleh para guru untuk ngerumpi dan ghibah tentang seseorang. Yang selalu menjadi objek ghibah sudah pasti sosok Broadin yang masih jomblo. Karena itu, rasa enggan untuk ngerumpi bersama para guru selalu menghantui dalam batin. Dia selalu mencari ketenangan dengan menghindar dari para guru di waktu istirahat.

“Saya berharap tidak terlalu lancang untuk menemani bapak.” ucap Bu Ihda.

“Oh ya, terima kasih telah meluangkan waktu untuk saya.” sahut Broadin dengan tenang.

Sejenak kemudian, keduanya terlihat asyik ngobrol tentang kehidupan dan segala macam yang sedang melanda dunia saat ini. Sesuatu yang diyakini adalah: hidup ini merupakan kesusahan yang harus dihadapi, rahasia yang harus digali, dan kegembiraan yang harus dibagi. Yang paling mengena dalam benak Broadin adalah hidup merupakan sebuah cinta yang harus dinikmati.

“Sekuat apa pun kita menjalani hidup akan selalu ada kejutan yang tak terduga dan ada hal yang terkadang tidak sesuai dengan harapan.” ungkap Bu Ihda di tengah obrolan.

“Harapan memang indah, namun kenyataannya sering lebih pahit dan tidak selaras dengan yang kita inginkan. Tetapi kita harus yakin, bahwa cerita yang dicipta oleh Yang Maha Kuasa tidak pernah sia-sia. Seperti kondisi saya saat ini yang masih jomblo, bukan berarti sebuah kesia-siaan.” sahut Broadin masih teguh dengan nuansa filosofis.

Kedua guru tersebut berhenti ngobrol ketika ada bunyi bel untuk memulai pembelajaran jam ketiga. Keduanya turun dari gazebo dan melangkahkan kaki menuju kelas masing-masing. Berpisah di koridor yang memisahkan ruang kelas tempat mengajar anak-anak didik.

Cukup sudah terkungkum dalam langkah pembelajaran bersama anak-anak didik. Tibalah saatnya menenangkan diri dan membenamkan hati dalam peristirahatan di sekolah. Dengan gontai, Broadin menyusuri koridor menuju ruang rehat. Tiap jengkal langkah terusik dengan bayangan kondisi tanpa kehadiran seorang gadis dalam kehidupannya.

“Lelah sering menderaku karena tak bisa mengubah stigma buruk yang terlanjur terpatri begitu sempurna.” keluh dalam hati seiring ada lompatan di atas gazebo.

“Jangan menyendiri terus menerus! Dengan menyendiri, sama artiya menyiksa diri karena melawan takdir. Ikuti arah angin dan kendalikan dengan doa, maka Pak Broadin akan berlabuh di dermaga yang terbaik!” pesan Bu Ihda juga bernuansa filosofis.

Bibir tercekat dan tak kuasa untuk berucap, pandangan mata terpana pada sosok guru perempuan yang telah menjadi teman akrab sejak awal diangkat menjadi aparatur negara. Ada tatapan tajam menghujam pada wajah polos yang membuat termangu dalam ragu dan tenggelam dalam sendu. Hanya bisa merenung dalam relung hati dengan ikhlas dan mengembangkan pikiran untuk siap menerima pesan penuh filsafat. Senyum merekah tersungging di bibir laksana taburan madu yang menghadirkan ceria untuk menghilangkan lelah yang sempat singgah.

“Sahabat, di alam hidup ini ada bintang. Gapailah dan rengkuhlah bintang itu! Jika kamu belum punya pasangan hidup berarti kamu belum mampu merengkuh bintang. Memiliki pasangan hidup diyakini akan dapat meningkatkan kepercayaan dan optimisme diri. Oleh karena itu, tidak ada salahnya kalau kita memiliki pasangan hidup.” tutur Bu Ihda.

“Bantulah aku untuk sementara waktu tetap dalam kesendirian! Ini sebuah keputusan dengan konsekuensi besar pada prinsip menjadi manusia egois!” pinta Broadin kepada sahabatnya.

“Benar adanya untuk bapak resapi tentang makna yang tidak mesti terpetik saat ini. Tak bisa disalahkan bila bapak memilih untuk mengikuti dan menikmati alur kehidupan dalam kesendirian.” untaian frasa Bu Ihda memberi semangat.

“Terpenting bagi kita adalah kokohkan dan eratkan persahabatan ini, meski kita dalam kondisi yang jauh berbeda! Kita tetap saling mengisi dengan atensi yang positif.” pinta Broadin.

“Tuhan tidak menjanjikan langit selalu biru, bunga selalu mekar, dan mentari selalu bersinar. Ketahuilah, Tuhan akan mendatangkan pelangi setelah redanya hujan, ketenangan selalu ada setelah usainya badai, tawa selalu terkembang setelah berakhirnya tetes air mata, dan yang pasti akan selalu ada jawaban dalam setiap doa. Maka dari itu, kuatkan batinmu dengan berdoa!” himbau Bu Ihda.

“Terima kasih tersanjungkan untuk Bu Ihda yang telah memberi pencerahan penuh makna kepada saya. Untuk sementara ini, biarlah aku …..” Broadin menghentikan untaian frasanya karena ada peristiwa yang membentang di depan gazebo.   

Tiba-tiba angin gunung berhembus sedikit agak kencang lalu daun-daun di halaman lepas dari rantingnya dan berguguran. Kemudian angin sepoi yang menyapa dan memberi tanda ketenangan segera tiba. Ketenangan dengan segala keikhlasan yang awalnya dipaksanakan pada kesendirian. Menuntun pada alur bersama sebuah cerita yang telah lama diramu dalam kisah yang lebih indah bagi Broadin. Untuk sementara, dia melupakan cinta yang katanya sedang berkelana. Menyapa diri untuk tetap kuat dalam senyuman dan menghilangkan ego yang tinggi. Mematikan lentera yang sudah mulai redup karena pusat tenaganya butuh istirahat. Daun-daun kering yang berserakan telah memberikan ruang bagi Broadin untuk tetap bertahan pada kondisi yang nyata. Ibarat sebuah rumah, dia telah menutup pintu yang bertuliskan “kali ini, biarlah aku sendiri!” Itu pesan yang terputus karena fenomena alam. Sebagai pertanda jika kesendirian telah menjadi pilihan hidup untuk dipertahankan dan entah kapan akan berakhir.

Comments

Popular posts from this blog

WA Grup untuk pembelajaran daring

Pengalaman Menjadi Guru

Kabar yang Masih Samar