Hadirnya Sungguh Menggoda

 

Di pagi menjelang siang, penanda waktu menunjuk angka 9 lebih sedikit dan mentari tampak cerah. Sinarnya hangat mengusik mesra tetesan embun di dedaunan. Desir sepoi angin gunung turut mewarnai indahnya dan nikmatnya cuaca. Cicitan burung-burung kecil yang bersahutan menambah semaraknya suasana di pagi yang mulai beranjak siang. Begitulah waktu, hadirnya terasa cepat berlalu tetapi tak pernah kosong dengan banyak cerita yang tercipta. Semua itu, tak pernah terhapus dan tetap terpatri dalam sanubari untuk melengkapi indahnya lukisan hati yang penuh kenangan.

Tak terasa dua jam sudah menebar ilmu bersama anak-anak didik dalam nuansa pembelajaran kontekstual berbasis konstruktivistik. Anak didik diberi tugas mengungkapkan kisah dalam konteks pengalaman nyata dari pribadi masing-masing. Pembelajaran berjalan kurang maksimal karena anak-anak tidak konsentrasi dalam mengikuti alur pembelajaran. Suasana kelas menjadi kurang kondusif dan materi tak tersampaikan dengan tuntas. Ocehan tak bernada dari anak-anak menghias ruang kelas yang tak terkendali. Broadin mengakui dengan jujur, jika dalam pembelajaran masih monoton dan kurang melibatkan hati dan cinta tetapi hanya sekedar mentransfer ilmu belaka. 

Begitu bel penanda waktu istirahat berdering nyaring, Broadin bergegas keluar dari kelas. Tak seperti biasanya, sepanjang mata memandang terlihat dengan jelas dipenuhi oleh para guru yang duduk bejajar di teras koridor sekolah. Tidak hanya canda tawa yang terlewati bersama, melainkan ada sebuah perdebatan adu argumentasi yang hanya menjadi pepesan kosong. Perdebatan itu datang secara tiba-tiba, pun tak pernah berakhir pada titik temu dalam sebuah kesimpulan.

“Pak Broadin!” tiba-tiba terdengar alunan suara menyebut nama Broadin. 

Bergegaslah dengan setengah berlari menyusuri koridor untuk memenuhi Si Penyebut nama. Ada gurauan sinis menyeruak dari para guru yang merumorkan akan dicarikan jodoh oleh Bapak Kepala Sekolah. Dengan tak menghiraukan celotehan para guru, tetap tegap melangkahkan kaki menuju ruang Kepala Sekolah. Berhenti sejenak tepat di depan pintu yang memisahkan ruang guru dan ruang Kepala Sekolah. Perang pertanyaan berkecamuk dalam benak karena ada panggilan untuk bertemu dengan atasan. Sejurus kemudian, tekad bulat masuk ruangan menghadap pimpinan.

“Tolong disiapkan dengan sungguh-sungguh agar membawa nama baik bagi sekolah kita!” pesan Bapak Kepala Sekolah di akhir obrolan.

“Siap sesuai dengan kemampuan saya, Pak!” sahut Broadin mantap.

“Manusia diciptakan untuk berguna bukan sempurna. Bapak bukanlah azan maghrib yang membahagiakan bagi yang berpuasa. Selalu lakukan kebaikan dengan versi bapak, dengan cara itulah kedamaian akan tercipta. Lakukan kebaikan semampu bapak meskipun tidak sempurna! Biarlah Sang Pencipta yang menyempurnakan langkah bapak!” pesan Bapak Kepala Sekolah. 

“Terima kasih, Pak!” ucap Broadin lalu meninggalkan Kepala Sekolah dalam kesendirian.

Tak berapa lama kemudian, keluar dari ruang Kepala Sekolah dengan acuh dan cuwek pada semua pertanyaan yang menyerang dengan bertubi-tubi kemudian rebahan di atas gazebo. Kali ini, tidak ada lamunan yang membayang dalam angan tentang pasangan hidup. Yang ada dan menjadi nyata adalah tugas yang harus diemban selama lebih kurang satu semester ke depan. Tugas dari Kepala Sekolah agar membimbing anak-anak didik kelas 6 untuk menghadapi ujian akhir sekolah bukan tugas yang ringan.

“Aku harus mencurahkan segala waktu, energi dan fokus kepada anak-anak didik agar siap dan mampu menghadapi ujian akhir sekolah!” gumam Broadin terdengar lirih.

“Pengalaman dan pengetahuan yang dinarasikan akan menambah khazanah ilmu bagi mereka yang membutuhkan, terutama anak-anak didik. Dengan kegigihan Pak Broadin dalam membimbing mereka, insyaallah akan meraih hasil yang sempurna.” untaian filosofis dari Bu Ihda.

“Menjadi guru pemula memamg belum banyak kisah yang dapat dirangkai menjadi sebuah novel. Akan tetapi, ada suka dan duka yang saling menyatu dan membentuk satu cerita yang indah. Beberapa peristiwa yang pernah terjadi dalam setiap pembelajaran akan membentuk seorang guru kaya pada wawasan penuh dengan pengalaman dan menjadi khazanah ilmu pengetahuan. Tenang, laksanakan tugas sebaik mungkin!” tutur Kotrek bernuansa pesan.

“Ada satu episode pembelajaran yang paling berkesan selama aku menjadi guru. Itu terjadi pada saat aku pertama kali menjadi guru di sini.” ungkap Broadin.

Hari-hari pertama menjadi guru, anak-anak di kelas sukses membikin kepala pusing tujuh keliling. Ketika menyampaikan materi dengan metode anjangsana, mereka berjalan-jalan ke antarmeja teman semaunya dan tak menghiraukan arahan dari guru. Sementara ada anak didik yang berkerumun dan lebih asyik bermain dengan alat yang dimiliki. Broadin mencoba untuk mendekat kepada kerumunan anak didik, tiba-tiba ada salah satu dari mereka menyuarakan senapan seakan-akan mau menembak dirinya. Mereka beranggapan jika dirinya itu zombie yang harus ditembak. Ternyata ada sekumpulan anak didik yang sedang bermain dan mengaku sebagai pemburu zombie.

Fokus pada gerombolan pemburu zombie, di deret bangku yang lain terdengar jeritan seorang anak perempuan cukup kencang. Secara reflek, kepala menoleh ke arah sumber suara dan kuatkan kaki melangkah teriring hentakan rasa penasaran. Dan yang nyata ada, seorang anak perempuan dipukul oleh temannya karena tidak berkenan meminjamkan alat tulisnya. Dengan berbagai teknik dan metode, Broadin berusaha menghibur anak tersebut untuk tidak menangis.

“Belajar dari situasi yang nano-nano itu, saya segera mengambil langkah dengan gerak cepat beradaptasi di kelas.” ungkap Broadin di akhir cerita.

“Ya harus secepat itu beradaptasi! Jika tidak, akan berdampak pada hasil pembelajaran hingga sekarang.” Bu Ihda memberikan masukan kepada Broadin.

“Cocok sekali, Bu!” sahut Kotrek sembari mengacungkan jempol.

Waktu berlari menjemput tahun demi tahun, tak terasa sudah 6 tahun Broadin mengabdi pada negeri menjadi pendidik sejati. Anak-anak yang dulu bikin pusing bahkan bikin vertigo di kepala, sekarang sudah menginjak remaja dan bersama duduk di kelas 6. Dirinya pulalah yang mendapat amanah mengajar mereka di kelas 6, sungguh dunia terasa sempit dan hanya seluas daun kelor. Meskipun demikian, zaman sudah berubah bila dibandingkan ketika mereka masih di kelas 1.

Letihku tak terasa dan bimbangku tentukan solusi tindakan dalam menyusuri pembelajaran. Penuhi tekad, siapkan jiwa dan kokohkan raga menebar wawasan keilmuan bersama segenap anak didik!” tekad Broadin diungkapkan dengan penuh keyakinan.

“Saya berharap bukan janji tapi bukti.” tuntut Kotrek yang didukung oleh Kepala Sekolah.

“Siap, memenuhi janji dengan bukti!” tekad Broadin sembari mengepalkan tangan.

Surya beranjak manja menyapa dengan nada bahagia. Memberikan salam hangat “Selamat siang para sahabat!” kepada semua isi bumi dibarengi celoteh burung yang lalu lalang di dedaunan. Cakrawala biru menghampar luas bergoreskan awan putih berserakan yang menghambur ke segala arah. Hangat surya serasa membekap bumi yang tampak masih lestari. Bukit-bukit hijau berjajar rapi mengikuti gugusan alam yang terjaga alami dan berseri. Tibalah saatnya berkemas untuk pulang dari sekolah bagi anak-anak didik, sedangkan bagi para guru saatnya teguhkan hati turun gunung dengan melangkahkan kaki menyusuri lereng bukit di bawah sengatan terik matahari.

“Pulang dulu, Pak!” pamit Kotrek kepada Broadin dan diikuti oleh Bu Ihda.

“Silakan, bapak dan ibu guru!” sahut Broadin.

Saatnya menghadapi kesendirian yang berbeda dalam keseharian karena harus melaksanakan tugas amanah dari Kepala Sekolah. Di bawah naungan rimbunnya dedaunan, Broadin merebahkan tubuhnya di permadani rerumputan kering yang sudah ditinggalkan oleh butiran embun. Menikmati indahnya suasana alam dengan hiasan kabut tipis perbukitan yang memang masih asri dan lestari. Banyak angan dan harapan yang didambakan di bawah sinar sang surya yang tak terasa teriknya karena disapu oleh angin pegunungan yang berhembus sepoi.

“Sendirian, Pak?” tanya Pak Dasuki, si Penjaga Sekolah mengagetkan batin.

“Ya, Pak.” dalam kagetnya, Broadin berusaha menjelaskan kalau dirinya diberi tugas untuk menyiapkan anak-anak didik kelas 6 dengan memberi tambahan jam pembelajaran.

“Yuk makan, Pak!” ajak Pak Dasuki untuk makan siang.

“Bawa sini saja! Lebih asyik makan di gazebo, Pak.” pinta Broadin.

Bahagia rasa hati, saat Pak Dasuki datang membentang sajian penuh selera. Tak kuasa menahan rasa ingin segera merasakan kenikmatan makan siang. Lenyap seketika lelah menahan lapar. Layaklah jika memuji pada sajian terhampar di gazebo lalu menikmati makan siang bersama.

“Ayo segera selesaikan makan siangnya! Aku akan memperkenalkan seseorang kepada bapak.” ujar Pak Dasuki seraya menepuk bahu Broadin.

Dalam waktu sekejap, habis sudah sajian santap siang dan perlengkapan makan sengaja dibiarkan berserakan. Setelah itu, kuatkan kaki melangkah untuk cuci tangan di sudut halaman. Melap kedua tangan dengan serbet yang sudah siap di sudut gazebo. Berdesah panjang sebagai ungkapan rasa nikmat dan lezat sajian makan siang ala masyarakat perbukitan.

“Assalamu”alaikum, bapak-bapak!” sapa seorang gadis secara tiba-tiba.

Broadin hanya bisa terdiam dalam seribu bahasa, hati redam pada titik penasaran dengan maksud menelusuri misteri seorang gadis yang sudah berdiri tegak di depan gazebo. Tak kuasa bibir berucap dan tak kuasa mata berkedip, padangan tajam terhujam pada sekujur tubuh yang nyata ada di depannya. Tanpa disadari tersungging senyum di bibir dan ungkapkan salam sapa simbol perkenalan dan penyambutan pada sahabat baru.

“Wa’alaikum salam!” balas Broadin dengan bengong.

“Permisi, Pak!” pinta Si Gadis sembari mengambil perlengkapan makan.

Beberapa menit kemudian, tatap mata masih tak berkedip dan tajam menghujam pada gadis dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dalam sekejap, benih-benih kekaguman menyelinap dan mengembara dalam hati. Dari wajah polos, memancar cahaya berbalut aura kecantikan yang luar biasa. Gerakan lemah gemulai mengiringi langkah kaki untuk mengantar tubuh yang semampai. Menjadi sebuah kenikmatan bagi pemilik hati yang sulit untuk ditinggalkan.

“Hei..!” kibasan telapak tangan berkelebat menghapus kenikmatan yang ada di depan mata.

Benar adanya, kedatangan gadis bukit itu sangat mempesona dan telah menumbuhkan benih cinta di lubuk hati yang paling dalam. Dalam hati, terbersit untuk menelisik tentang pribadi Si Gadis. Ada untaian kalimat dalam bentuk pertanyaan menurut rencana tertuju kepada Pak Dasuki yang duduk di sebelahnya.

“Dia keponakanku yang mau saya kenalkan kepada bapak!” jawab Pak Dasuki mendahului.

“Siapa yang bertanya?” sergah Broadin seakan tidak memperhatikan gadis itu.

“Alaah jujur saja, mau bertanya kan?” sanggah Pak Dasuki.

Siang itu cuaca terik sekali, mentari bersinar dengan garang seakan hendak membakar seluruh isi muka bumi. Badan mendidih karena sengat terik cuaca dan keluarkan keringat mengalir deras membasahi baju bak hujan di musim hujan. Namun, semua itu tak terasa menyiksa bahkan terasa nikmat dalam jiwa dan raga seiring kehadiran gadis bukit pada saat memberikan tambahan jam pelajaran. Berusaha melerai gundah yang bergejolak dalam dada ketika Si Gadis nyata ada di depan. Selalu mencari peluang untuk bisa bertatap muka di sela makan siang.

Perjalanan masih panjang, sepanjang batin hendak menguak misteri dari sosok gadis bukit. Misteri tetaplah misteri yang seakan sulit diungkap dalam waktu dekat. Nyatanya sampai saat mereka bersua dalam kegiatan santap makan siang, belum kenal siapa sebenarnya gadis bukit itu. Si Gadis hanya menjumpai dan menyapa di ujung yang berbeda. Mengiakan pada hal yang belum terurai dan meremukkan pada ambisi yang mulai terkembang kembali. 

“Kenalkan, Pak!” tiba-tiba ada uluran tangan di depan mata.

Sungguh tak ringan dirasakan di hati dan betapa sesak dada yang dipenuhi rasa heran yang tak bertepi karena ada ajakan perkenalan dari Si Gadis. Hidup hanya nanar dan hanya bersanding dengan cerita yang butuh kepastian dan semua takdir harus diterima dengan lapang dada. Tetiba ada gelora jiwa yang mendorong dan menjadi kekuatan besar untuk menerima perkenalan.

“Oh iya, saya Broadin!” tangannya gemetar menerima uluran tangan tak terduga.

“Tsalitsa, Pak.” tangan si Gadis mantap dan erat dalam berjabat sebagai tanda perkenalan.

Terasa langit akan runtuh seketika karena dalam sekejap, perkenalan berubah menjadi obrolan yang akrab penuh dengan canda tawa. Terungkap setitik kisah bahwa Tsalitsa dulunya alumni sekolah tempat Broadin mengabdi pada negeri dan sekarang duduk bersimpuh menuntut ilmu di kelas X sebuah Madrasah Aliyah yang terkenal hingga di pelosok bukit. Sungguh terasa dunia ini buta dan menjadi sebuah lelucon karena ada gurauan ringan dalam perkenalan mereka berdua. Obrolan pula yang membuat lupa pada tugas rutinitas di setiap siang.

“Sudah siap, Pak!” seru salah seorang anak didik.

“Oh ya, sebentar!” sahut Broadin dalam keterkejutan.

Mereka berdua segera turun dari gazebo dan bergegas memisahkan diri dengan melangkahkan kaki ke arah masing-masing tujuan. Bahagia menggelora dalam jiwa dan menguatkan raga untuk tetap optimis pada dunia nyata. Seketika di kala bersama anak-anak didik dalam pembelajaran tambahan, harus fokus juga memaknai dan memenuhi hidup dengan rasa bahagia. Semua itu seakan-akan tergambar bersama dengan kehadiran Tsalitsa.

Bahagia itu sebenarnya sangat sederhana, seringkali orang yang berbahagia bukan karena memiliki segalanya tetapi hanya ikhlas menghadapi dan menjalani hidup apa adanya. Saat takdir menyapa langsung terucap ketika bahagia yang hadir dalam jiwa. Saat duka yang melanda tetes air mata tak terasa ikut serta. Namun sesungguhnya, bahagia dan duka itu bentuk cinta dari Sang Pencipta. Bahagia dapat menyapa melalui untaian bara cinta yang membekap jiwa dalam raga.

Kata cinta memang menjadi sebuah rahasia yang terkadang sulit diungkapkan tetapi selalu dibawa ke mana pun langkah kaki berpijak. Bayang-bayang cinta selalu menggoda secara halus menembus dalam jiwa. Bagaikan mimpi saat tersadarkan ada sinar cinta yang bergetar dalam jiwa. Bahagia hati dan tak pernah beku lagi karena tidak merasa sendiri.

“Orang bahagia sejatinya bukan karena tidak pernah menghadapi masalah dalam hidupnya. Melainkan karena orang itu menanggapi masalah hidupnya dengan tepat. Kali ini kita cukupkan les sampai di sini dulu.” ucap Broadin mengakhiri les sore hari.

Berita bahagia karena cinta yang sedang melanda Broadin sudah tersebar luas seluas alam perbukitan hingga di lembah ngarai dan menjadi sebuah lelucon yang cukup besar bagi kalangan pendidik. Mereka juga terheran karena ada yang mampu menyibak tabir cinta di hatinya. Padahal selama ini, sangat dingin sedingin salju terhadap kata cinta, terlebih cinta terhadap seorang gadis.

“Terima saja dan jadikan pasangan hidup!” usul Kotrek dengan motivasi tinggi.

“Tumbuhkan rasa cinta di hati bapak karena ketika tidak ada cinta, hidup bapak tidak pernah berisi alias hampa. Bila memang dia itu sosok yang menarik bagi bapak dan membuat nyaman, ungkapkan saja perasaan bapak kepada dia!” tutur Bu Ihda memberikan keyakinan.

“Cinta tak tertangkap oleh mata, tetapi diserap oleh rasa dalam jiwa. Logika cinta pun tak terlukis hanya sebatas penilaian atas selera. Cinta itu bersayap tetapi buta karena dalam memilih seringkali hanya terpikat pada fakta bukan rasa.” Broadin mengajukan argumentasi tentang cinta yang pernah ditulis oleh seorang tokoh sastrawan yang telah mendunia.

“Karena itu, bapak harus mengakui kalau ada getar cinta dalam hati!” pinta Bu Ihda.

“Harus bagaimana aku mengatakan, sedangkan bibirku tak mampu berucap? Dan, hanya ada debar hati semakin menjadi. Kegelisahan yang kurasakan karena harus menyimpan rahasia hati ini. Mungkinkah ada perasaan yang sama dari si dia?” curhat Broadin kepada sahabat sejatinya.

Rasa cinta kepada orang lain itu memang butuh sebuah pengorbanan, salah satunya mengakui dalam hati memang ada rasa cinta. Harus berani pula memaknai dan mengucap kata cinta dengan perasan ikhlas seperti tanpa dosa. Teguh dalam memegang prinsip bahwa bahagia tak hanya olah rasa tetapi perlu abadi bersama cinta. Di titik akhir, harus kokoh tanpa seonggok badai mampu menyapa. Tidak boleh menyerah dengan keadaan yang ada karena setiap kebahagiaan butuh perjuangan dan berharap berakhir dengan indah bersama cinta.

“Hidup ini harus melihat ke depan meski kadang harus menengok ke belakang agar bisa mengambil langkah perbaikan dan tidak melakukan kesalahan yang sama. Buah kesabaran dalam perjuangan menghadapi cobaan tidak bisa seketika dirasakan. Seiring berjalannya waktu, buah yang indah itu akan memberikan kenikmatan dalam hidup.” tutur Bu Ihda.

“Hidup dalam cinta itu merupakan hak bagi setiap insan yang menghuni muka bumi. Dan, ini sepertinya sudah menjadi bagian dari takdir Sang Pencipta. Untuk itu, terimalah dia dengan cinta yang paling dalam di lubuk hati bapak!” imbuh Kotrek.

“Ingin hatiku katakan cinta kepada Tsalitsa namun aku malu untuk mengawalinya. Jantungku berdebar saat dia menatapku dan aku jadi salah tingkah ketika bersama dia. Bibirku terbungkam melihat senyumnya dan membuat aku tak kuasa saat ada di depannya. Sebenarnya, aku ingin mengungkapkan rasa tapi aku selalu tak bisa. Bagaimana caranya agar dirinya tahu kalau aku cinta sama dia?” curhat Broadin terungkap kepada sahabat sejatinya.

Hari-hari berlalu begitu saja, sejenak keberadaan Tsalitsa terabaikan karena fokus pada anak didik kelas 6 yang sebentar lagi menghadapi ujian akhir sekolah berstandar nasional. Hingga pada suatu ketika sedang memberikan les di siang hari, Broadin dikejutkan ada yang mengetuk pintu dan memberi salam. Ternyata Tsalitsa dengan menawarkan makan siang yang sudah tersaji di gazebo. Dengan terpaksa harus menghentikan les dan keluar mengikuti ke mana Tsalitsa melangkah.

“Lho kok di rumah, bukannya di pondok?” tanya Broadin basa-basi.

“Sengaja pulang, Pak.” jawab Tsalitsa memancarkan kesan manja.

Tiada hari yang paling bahagia selain pada siang hari itu. Di bawah perlindungan atap gazebo, dapat menikmati santap siang bersama Tsalitsa, seorang gadis bukit yang cukup menyita perhatian dalam kurun waktu tak bertepi. Tak kuasa hati jika pada akhirnya jiwa terlibat dalam petualangan saat berinteraksi dengan Tsalitsa. Melalui santap siang bersama, terjalinlah pertemanan yang dibalut rasa cinta meski belum terucap.

“Kemarin Pak Broadin pacaran dengan Mbak Tsalitsa. Mereka makan siang berdua di gazebo, Bu.” ujar salah seorang anak didik perempuan mengadu kepada Bu Ihda.

“Iya, kami ditinggalkan di kelas dan tidak diberi les, Bu.” timpal anak yang lain.

Bu Ihda segerakan langkah mencari sahabat sejatinya. Hatinya dipenuhi oleh aura penasaran dengan aduan anak-anak didik kelas 6. Sepanjang kaki melangkah berkeliling di sekitar sekolah, beliau tak menemukan keberadaan sahabat sejatinya itu. Batinnya gundah dipenuhi pertanyaan yang berkelebat di depan matanya. Terbersit hatinya untuk memanggil sahabatnya melalui handphone.

“Assalamu’alaikum, ada apa Bu?” tanya Broadin di balik handphone.

“Wa’alaikum salam, bapak dimana?” tanya Bu Ihda singkat.

“Saya di Taman Bukit Cendana, Bu?” jelas Broadin.

“Sendirian atau bersama siapa?” selidik Bu Ihda.

“Bersama Tsalitsa, Bu.” jawab Broadin dengan jujur.

Handphone segera ditutup karena tidak ada lagi komunikasi. Dalam hati terpancar rasa sangat senang bila memang seorang sahabat segera menemukan cintanya di sela menjalankan tugas. Tak terasa ada tetes air mata mengalir di wajah cukup deras karena terharu dengan kondisi sahabat sejati saat ini yang pada akhirnya bisa jatuh cinta terhadap sosok seorang gadis yang bernama Tsalitsa. Terlantunkan doa yang senantiasa bergema dari lubuk hati paling dalam kepada sahabatnya semoga dapat berjodoh dengan gadis bukit itu.

“Berjuanglah kawan untuk mendapat cintanya dan berjuanglah sendiri ketika perjuanganmu maksimal, percayalah Sang Pencipta akan membantumu! Libatkan hati dan cinta di saat awal pertemanan karena butuh juga kasih sayang!” pesan Bu Ihda terucap secara lirih.

“Siapapun yang menjadikan Tuhan Yang Maha Kuasa sandaran dalam berdoa dan berjuang, pasti langkahnya takkan sulit. Meskipun terasa sakit tetap saja akan mampu melewatinya dengan nyaman.” sahut Broadin yang secara tiba-tiba ada di belakang Bu Ihda.

“Apakah sudah ada tanda-tanda keseriusan di antara kalian berdua?” tanya Bu Ihda.

“Mungkin belum ada, karena baru di awal perkenalan dan ini menjadi momentum bagi Pak Broadin dalam mengenal cinta.” sahut Kotrek.

“Hanya sebatas perkenalan dalam berteman.”  jawab Broadin.

“Jatuh cinta terkadang tak mengenal siapa dan tak tahu kapan akan terjadi.” sela Bu Ihda.

Kataku sederhana, dia memang bukan yang pertama ditemui mata, tetapi seiring berjalannya waktu, hati ini harus tahu yang benar pantas untuk mendampingiku. Bicara cinta, dia memang cinta pertamaku, itu sebabnya aku harus berhati-hati.” sahut Broadin.

“Bagaimana maksudnya, Pak?” tanya Bu Ihda penasaran.

Siang itu terasa terik matahari menyengat pada kulit dan dengan berat hati terpaksa tidak menjawab pertanyaan dari sahabat sejati. Segera menyelinap masuk ruang kelas dan segera memberikan materi tambahan kepada anak-anak didik kelas 6. Hati berbunga karena bisa mengajak Tsalitsa healing di Taman Bukit Cendana. Diakui dengan sejujurnya, jika kehadiran Tsalitsa sungguh sangat menggoda hatinya untuk menumbuhkan benih cinta agar menjadi kecambah dalam hati. Namun demikian, tidak ada kata cinta yang keluar dari bibir masing-masing karena masih pada awal mengenal secara pribadi antara dua mahluk yang berlainan jenis.

Setelah ini dan setelah yang akan terbangun sebuah kisah tidak hanya tentang Broadin dan Tsalitsa tetapi tentang semua yang tak pernah terkirakan tiba-tiba ada dan nyata. Bahkan tentang dia yang tak pernah diharapkan tetiba hadir Tsalitsa, gadis bukit membumi di dalam hati yang subur lalu menumbuhkan kasih sayang dan cinta. Hal yang paling urgen dan menjadi dasar dari segala rasa adalah kenyamanan yang hadir bersama bahagia. Bersatu dengan seutas komitmen rasa yang secara sadar tertata dalam ruang di relung jiwa. Alur terakhir yang selalu terkiatkan bagi sang pemilik nama adalah tak ada rasa kecewa dan adanya tawa kebahagiaan bersama cinta.

Comments

Popular posts from this blog

WA Grup untuk pembelajaran daring

Pengalaman Menjadi Guru

Kabar yang Masih Samar