Hanyut dalam Kemesraan

 

Penanda waktu menunjuk angka 7 di tepian pagi, terdengar bel bedering tiga kali pertanda pembelajaran di kelas segera dimulai. Broadin melangkah pasti menyusuri koridor dan menyapa pintu lalu membuka dan memasuki ruang penuh dengan pemilik hati sebagai mahluk berakal. Detak jantung selalu terpacu melaju mengiringi langkah menuju sudut ruang. Menegakkan raga dan bersandar pada tegaknya kursi pambudi ilmu yang berdiri di sudut ruang dan menyemburatkan renung hati paling dalam dengan ikhlas mengembangkan ilmu pengetahuan.

Anak-anak didik memberi hormat setinggi-tingginya kepada Broadin, sang penebar ilmu. Ia hanya bisa terpana, tak mampu berucap dan tak mampu berlaku untuk tetap sadar pada batas diri dalam mengembangkan logika penuh tebaran ilmu. Ikhlaskan segala kondisi diri dan relakan semuanya agar mampu membawa anak didik dapat menempuh bahagia di kelak kemudian hari. Pagi itu, Broadin mengembangkan konsep matematika tentang dasar-dasar teori peluang dalam pembelajaran quantum berbasis dunia anak bermain. Pembelajaran berjalan sangat asyik karena anak-anak didik diajak bermain monopoli.

Cukup dalam waktu tujuh puluh menit bermain dalam tebaran pandang terang mengikuti langkah pembelajaran bersama anak didik. Terdengar bel berdering tiga kali untuk kali kedua. Tibalah saatnya sukma menenangkan diri dan membenamkan hati dalam peristirahatan di sekolah.

Assalamu’alaikum!” terdengar salam sapa merdu di telinga. “Ke kantin, yuk!” kemudian terdengar ajakan mesra dari Tsalitsa yang telah tegak berdiri di depan pintu kelas 6.

Senyumnya merekah menghadirkan ceria untuk menghilangkan lelah yang sempat singgah dalam raga. Seketika itu, Broadin berdiri tegak kemudian meninggalkan kursi yang setia menemani di setiap hari. Hilanglah keletihan dalam menyusuri koridor yang bertepi di sudut halaman kemudian menapaki jalan menuju kantin tempat rehat bagi segenap warga sekolah.

Meskipun sekolah, tempat Broadin mengabdi pada negeri berada di lereng bukit, ternyata sudah menunjukkan kemajuan bernuansa modern. Sudah ada kantin di sudut sekolah yang memiliki multi fungsi. Ketika pada pagi hari sampai pukul 12.00 menyediakan aneka ragam sajian untuk warga sekolah, guru dan anak-anak didik. Kemudian setelah itu, di siang hingga sore hari tersedia aneka sajian untuk para pekerja di area pertambangan galian C. Kantin yang diberi nama “Bukit Gondosari” itu dikelola oleh keluarga Pak Dasuki, penjaga sekolah. Memaparkan aneka sajian, mulai dari makanan ringan, kue jajanan dan makan berat. Tempatnya sangat asri dengan tamannya dan nyaman untuk beristirahat bagi guru dan anak didik.   

“Di sini, Pak!” tunjuk Tsalitsa.

Broadin hanya terpaku dan termangu di sudut kantin, kemudian mengikuti ajakan Tsalitsa yang dengan setia memberikan perhatian. Keduanya mengambil kursi untuk duduk bersimpuh sembari menunggu antrean pelayanan kantin. Sejurus kemudian, memberikan hormat kepada pramusaji yang datang dengan tawaran menu.

“Pesan apa, Pak?” terdengar penawaran dari Tsalitsa.

Ngikut kamu saja!jawab Broadin.

Bahagia berpeluk erat dengan bayang nyata saat pramusaji datang membentang sajian penuh selera. Segala rasa menyatu ingin segera merasakan nikmat sajian yang mengundang selera. Lenyap seketika rasa lapar yang bergelayut dalam perut. Terlihat dengan nyata, keduanya tak lekang kembarakan hati menikmati waktu rehat berdua.

“Enak ya, Pak?” terdengar Tsalitsa memuji sajian dengan sebuah retorika.

Broadin hanya terdiam meredam segala rasa nikmat yang tersaji di balik hikmat bersama. Yakinnya menderu dan mengusik jiwa namun tak mampu terungkap karena gamang dalam bimbang. Tanpa sadar tersungging kembang senyum dan munculkan tawa sebagai simbol kepuasan menikmati sajian. Bibir mengungkap puja pada sajian terhampar di meja. “Terasa nikmat untuk sajian di siang ini.” komentar Broadin sembari mencuci tangan.

Hatinya selalu yakin mendatangkan asumsi kebenaran dengan semburat ucap nyata dalam pandang mata. Tsalitsa hanya bisa mengikuti keyakinan tentang nikmat di balik sajian. Tiupan angin timbulkan siulan kecil pertanda kepuasan atas nikmat bersama pada waktu rehat. Bisik lirih hati Broadin mengungkap makna puas diri bisa rehat bersama sang pujaan hati.

Saatnya kembali ke kelas, Pak!’ serak suara Tsalitsa mengingatkan Broadin.

Broadin berdiri lalu menghentakkan kaki meninggalkan Tsalitsa dalam kesendirian di kantin. Ia meninggalkan gelanggang peraduan hati secepat kilat usai menghabiskan sajian. Tanpa peduli dengan ucapan dalam kelakar, dengan gontai melanjutkan langkah sepenuh hati menyusuri koridor menuju kelas. Tiap jengkal langkah terusik dengan bayang saat berada di samping Tsalitsa.

Musim kemarau identik dengan cuaca terik di siang hari. Angin siang yang berhembus sepoi membawa rahasia yang ingin disampaikan kepada penghuni muka bumi. Siang itu, mentari mencurahkan sinarnya dengan garang seakan-akan mengamuk kepada seluruh mahluk di bumi. Meskipun demikian, Broadin tetap tegar menjalankan tugas memberikan tambahan jam pelajaran kepada anak didik. Keringat bercucuran membasahi baju yang dikenakan layaknya baju baru dicuci.

“Ih, panas sekali! Maklumlah penanda waktu sudah menunjuk angka 13 lebih sedikit.” keluh Tsalitsa seraya melangkahkan kaki setengah berlari menuju gazebo.

“Kuatkan jiwamu hadapi segala sengat mentari yang belum seberapa panas seperti sengat api!” pesan Broadin dari depan kelas. “Apa tidak sekolah, kok sudah di rumah?” tanya Broadin.

Terhenyak hati Tsalitsa ketika melihat dalam fakta bahwa Broadin sudah berdiri dalam sendirian di depan kelas. Sejurus kemudian, Tsalitsa dengan tertatih meninggalkan gazebo dan melangkahkan kaki menyusul Broadin yang sudah berdiri tegak di depan pintu ruang kelas. Hatinya semakin terheran ketika melihat Broadin basah kuyub bermandikan keringat.

“Libur, ada ujian kelas XII.’ jawab Tsalitsa lalu bertanya: “Panas ya, Pak?”

“Kusiapkan dengan segala resiko harus melalui panas terik mentari.” sahut Broadin. “Dengan tertatih aku berjalan, tanpa letih aku berjuang, dan dengan lirih aku terpejam beriring dengan waktu yang terus berjalan. Untuk menikmati segala pandangan, aku lalui dengan kesabaran dan keikhlasan berdamai dengan waktu. Aku menyatu dengan waktu dalam derita dan bahagia bersama anak didik dan itu harus berlalu. Aku hanyalah sosok yang berjuang dalam hempasan untuk menghadirkan kebahagiaan. Logikaku meniti tujuan dengan moralitas keyakinan penuh dukungan.” tutur Broadin selalu dipenuhi untaian filosofis.

“Terusik ragaku tatkala surya menyengat dengan aura panasnya terasa menjalar ke dalam seluruh jiwa.” keluh Tsalitsa teruntai dalam sadar.

“Hari ini, memang mentari dengan garang memancarkan sinarnya seakan-akan membakar seluruh isi permukaan bumi.”  Broadin mengalunkan frasa mendukung kondisi yang terasa.

“Wah, semakin akrab.” celetuk Bu Ihda.

Broadin tak kuasa diri untuk meninggalkan gelanggang tebaran ilmu. Segala rasa berdiam dan tak terbantahkan ketika sosok manusia berparas jelita sudah berdiri dan berjajar di sampingnya. Mengembangkan payung senyum sebagai wujud perhatian demi persahabatan yang abadi

Biasa saja, Bu.sahut Broadin menyembunyikan rasa.

“Eh, Bu Guru!” seru Tsalitsa sembari menjabat tangan Bu Ihda.

“Kalian terlihat di setiap hari semakin ke sini semakin mesra.” ucap Bu Ihda menyela di antara kedua insan yang sedang berjajar di depan kelas. “Manusia memang tidak ada yang sempurna dalam hidup, pasti ada kekurangan dan kelebihan masing-masing. Ku berharap kalian semakin akrab dan menyelaraskan diri di antara perbedaan kalian.” pesan Bu Ihda.

“Maka dari itu, janganlah mencari pasangan hidup yang sempurna! Carilah pasangan yang bisa menerima keadaan dan bisa saling mengisi satu sama lainnya! Hiduplah secara adaptif dan fleksibel, jangan terlalu fanatik karena semuanya relatif!” sela Kotrek dengan tiba-tiba.

 Sejurus kemudian, Tsalitsa meninggalkan obrolan guru untuk menghindari gojlokan yang tak bertepi. Sembari melambaikan tangan ke arah Broadin, dia berjalan gontai menyusuri koridor lalu menelusuri hamparan rumput di halaman sekolah. Sebentar kemudian, hilang di balik bongkahan batu besar yang bejajar dengan gazebo di sudut halaman. Pandangan Broadin beralih kepada teman-temannya yang masih berdiri di sampingnya.   

“Jika kami pada akhirnya ditakdirkan bersama, kami akan tetap bersama meski melalui jalan yang berbeda. Bukan aku meragukan tapi aku ragu pada diriku sendiri. Dia yang hidup bersama segala yang ada di langit sedang aku bergerak dengan segala yang ada di bumi. Aku masih harus mengais sedang dirinya hanya tersenyum manis. Aku masih harus menata dengan segala kekuatan sedang dia tinggal tertawa dengan segala harapan.” Broadin melanjutkan obrolan.

“Hidup di dunia hanya sementara, terima dengan sabar dan ikhlas! Jadikan pelajaran dan pelebur dosa!” pesan religius dari Bu Ihda.

“Bagaimana kelanjutan perjalanan kalian berdua, Pak?” tanya Kotrek menyela Bu Ihda

Dulu sedetik saja tak ada harap tentang Tsalitsa. Sekedar bayang saja mungkin masih semu, bahkan namanya begitu asing bagi Broadin. Saat sekarang bayang alur nyata berjajar rapi di rak paling depan persis di depan mata. Semua terolah menjadi sajian dalam setiap langkah yang tidak mengecewakan atau melukai, hanya impian yang telah melukai diri sendiri. Angan melayang ke masa lalu sebelum kenal dengan Tsalitsa hingga sekakrang dekat dengannya.

“Semoga memang menjadi bagian dari tatanan yang diharapkan dan tak hanya menjadi abu duka dan luka yang tertata tetapi menjadi harapan titik yang terpenting dan dicipta menjadi impian yang paling agung.” tutur Kotrek menyela perbincangan Broadin dan Bu Ihda.

“Tatanan yang harus diperjuangkan agar tidak berubah menjadi debu yang hilang diterpa oleh angin bergelombang dan menjadikan diam yang tertutup karena dianggap cukup.” Bu Ihda tak mau kalah memberikan pesan juga selalu bernuansa filosofis.

“Kala itu menjadi bagian tatanan utama yang kokoh. Namun demikian, bisa saja goyah bila tidak diusahakan bagian utamanya. Bukan untuk menyepelekan tetapi sebagai bukti siapa yang utama dan menjadi bagian paling utama.” Pak Dasuki tiba-tiba ikut nimbrung.

“Bukan mengeluh, memang saya di posisi sekarang ini tidaklah mudah. Saya cukup sabar dalam menghadapi dan diam dalam bahagia menjadi solusi terbaik untuk saya.” sahut Broadin.

“Maaf, saya nimbrung menyela di tengah bapak, ibu guru saya hanya melihat kondisi hubungan antara Pak Broadin dan Tsalitsa kok semakin mesra.” ucap Pak Dasuki tersenyum kecil.

“Biasa saja, Pak.” sergah Broadin “Tak banyak yang tahu tentang kayu yang menjadi abu dan membiarkannya terbang diterpa angin yang menderu. Tak banyak yang paham tentang angin yang mengalunkan irama yang bercerita dengan misi yang tersembunyi. Tak banyak yang tahu dengan segala cinta yang belum nyata di antara kami berdua. Hanya bisa mengeja untuk sebuah makna yang berkisah tanpa merajuk dalam keabadian.” tutur Broadin dengan nada filosofis.

“Terkadang kita harus terpaksa atau dipaksa harus berani beda demi agar bisa mengubah sesuatu yang tidak jelas menjadi terang.” komen Pak Dasuki dengan argumentasi cukup mantap.

“Teguhkan hati untuk menjadi pribadi yang baik dan lebih bak ke depan dan tetaplah menjadi pilihan terbaik bagi Tsalitsa, Pak!” pesan Bu Ihda sembari menepuk bahu Broadin.

“Tak ada yang sempurna dari sebuah persahabatan, jika hanya menuntut kesempurnaan dalam bersahabat tidak akan pernah menemukan. Sebaik apa pun seorang sahabat akan selalu ada kesalahan menyertainya. Ketika semua teungkap di depan mata dan jika itu bapak, hilangkan dalam hubungan kalian berdua maka bisa dipatikan akanlah kalian berdua hanyut dalam kemesraan.” pesan Kotrek untuk perjalanan hubungan Broadin dan Tsalitsa.

“Pak Broadin dipanggil Kepala Sekolah!” seru Pak Dasuki dari depan ruang guru.

“Siap, maju jalan!” sahut Broadin seraya melangkahkan kaki ke ruang Kepala Sekolah.

“Duduk, Pak!” pinta Kepala Sekolah.

“Terima kasih!” jawab Broadin seraya duduk pada kursi di depan meja Kepala Sekolah.

“Maaf, Pak! Saya ini hanya mengingatkan tentang pertemanan bapak dengan Tsalitsa.” Kepala Sekolah mengawali pembicaraan.

“Memang ada apa dengan kami beruda?” Broadin balik bertanya.

“Ada sedikit keluhan dari pihak keluarga Tsalitsa yang dituturkan oleh Pak Dasuki.” jelas Kepala Sekolah seraya memanggil Pak Dasuki.

“Ada apa gerangan memanggil saya, Pak?” tanya Pak Dasuki.

“Tolong jelaskan kepada Pak Broadin, Pak!” pinta Kepala Sekolah.

Pak Dasuki bercerita jika keluaga mengeluh tentang perubahan perilaku yang ditunjukkan oleh Tsalitsa sejak berkenalan dengan Broadin. Yang paling dirasakan ketika Tsalitsa pulang di waktu tidak libur, bahkan pulangnya membolos dari pondok pesantren. Alasan yang cukup menyesakkan hati, ketika ditanya: “Kenapa kamu pulang padahal…..?”

“Pengin ketemu Pak Broadin.” jawab Tsalitsa.

“Kenapa harus ketemu beliau?” pancing Pak Dasuki.     

“Ada banyak rindu yang secara pasti harus diurai menjadi alunan kisah yang tak pernah diharapkan. Dengan melapas detak yang telah menyamankan dan menitipkan tangis untuk ditabung sementara serta menempelkan topeng bahagia yang tidak permanen akan membuat dilema dalam hidup. Menikmati jalan yang dengan sendirinya memberikan apa yang tidak diminta akan memberikan hiburan tanpa luka dan membawa aku pulang dengan bahagia. Di bagian ujung tidak ada bekas yang dapat dihapuskan tetapi menemukan penguat yang mampu mendekap dengan segala cinta dan kemesraan yang membuncah. Tak akan ada kata lepas atau berpisah yang ada hanyut dalam kemesraan di ujung jalan penuh perjuangan.”  jawab Tsalitsa menirukan filosofi Broadin.

“Sebetulnya kami hanya berteman tetapi sejujurnya dalam hati ini tumbuh rasa cinta tetapi tidak berani mengungkapnya, Pak.” sela Broadin di tengah cerita Pak Dasuki.

“Sebaiklnya Pak Broadin segera menyatakan yang sesungguhnya kepada Tsalitsa agar tidak terkesan menggantung.” pesan Kepala Sekolah.

“Kalau ini terjadi dan berlarut-larut, jangan salahkan jika ada guru yang dihajar oleh masyarakat hanya karena cinta!” Pak Dasuki mengingatkan Broadin dengan nada ancaman.

“Maaf, jika boleh saya ingin merumusksn sebagai kepemilikan dalan perjalanan cinta. Akan tetapi ada fungsi persahabatan yang abadi menjadi pembeda dalam hubungsn kami berdua.” sahut Broadin, untuk kesekian kalinya dengan nada filosofis.

“Keluarga tidak butuh ucapan filsafat, yang dibutuhkan kepastian sikap dari Pak Broadin sehingga ayah ibunya bisa bersikap ketika ada pihak yang menanyakan Tsalitsa.” sergah Pak Dasuki dengan nada tinggi karena agak emosi.

“Memang tidak selamanya yang kita inginkan itu menjadi kenyataan tetapi Pak Broadin harus segera menentukan sikap!” pesan Kepala Sekolah.

“Ruang ternyaman nyatanya masih dalam kondisi petemanan saat ini. Saya belum mampu menggeser meski hanya 1 cm. Begitu kokoh hati saya bahkan begitu dalam tertanam rasa dalam hati hingga tidak mampu untuk mengungkapkan dalam kata nyata.” tutur Broadin.

“Itu sampai kapan akan berjalan, Pak?” pancing Kepala Sekolah dengan nada tanya.

“Entah sampai kapan, hanya alur doa yang menguatkan dalam diam dalam kepasarahan pada keadaan, Pak.” jawab Broadin.

“Saat ini, ada yang berjuang secara sembunyi, berdua membangun cerita dengan gaya masing-masing dan berusaha mengumpulkan rasa syukur untuk support bahagia yang tak berbatas jarak dan waktu. Sehat selalu kalian berdua, Pak Broadin.” tutur Kepala Sekolah bernada doa.

“Tumbuh selalu keberkahan dalam kebahagiaan kalian berdua, meski belum jelas masa depan persahabatan kalian berdua.” timpal Pak Dasuki juga bernada doa.   

Di siang itu, langit masih menjabarkan keadaan yang tak biasanya terpampang di setiap detik. Masih mengabjadkan dengan cerita yang selalu bergemuruh di setiap sudut nadir. Titik-titik tidak menjadi rintik dan tidak memeluk mata yang dapat dirasakan jiwa pada senja. Berdamai dengan segala duka untuk melelapkan segala luka tanpa bahagia dalam kelam. Ujung pencapaian tertawa bahagia mampu mengubur dendam meski pernah ada luka yang menyayat mata. Separuh jalan sudah tergenggam dalam jiwa dengan kemesraan bersama orang terpuja.

“Dalam menghitung mesti kuat dan tidak bisa menangis ketika harus ketemu. Di siang terasa bahagia meski di malam perlu penenangan. Mesti harus mengukir senyum ketika bertatap muka dan itu pun tidak mudah tetapi sudah menjadi alur dalam bersahabat dan harus bisa bahagia meski dalam alur berpisah.” ucap Broadin lirih di tengah lamunan dalam kesendirian.

“Merayakan rasa adalah tema besar dalam hubungan kita bedua yang di dalamnya harus terungkap pengakuan pribadi bahwa hidup harus selalu bergerak ke depan. Dengan merayakan rasa maka memori dan kenangan akan bisa dilepaskan melalui attitude diri dengan keikhlasan tingkat dewa ketika harus berpisah, Pak.” seloroh Tsalitsa dengan tiba-tiba sudah di samping Broadin.

“Perkara ikhlas memang butuh bantuan baka dalam berperang dengan area tarik ulur. Harus tetap kokoh meski sesungguhnya segalanya telah ambyar dan menjadi luka. Sekedar meredupkan rasa perlu langkah sejuta agar dapat menghirup udara segar.” sahut Broadin tepat di telinga Tsalitsa.

“Asyiiiiiiik!’ seru anak didik serempak dari dalam kelas.

“Pak Guru kita sudah mempunyai pasangan, nih yee!” seru salah satu anak didik perempuan.

“Sejak kita di kelas lima hingga sekarang kita di kelas enam, mereka selalu bersama. Di mana ada Pak Broadin selalu ada Mbak Tsalitsa di sampingnya.” komen anak didik satunya.

“Apa namanya, teman-teman?” tanya yang lain.

“Pacaraaaaaan, nih yeeeee!” jawab seluruh anak didik serempak.

‘Mesranya sungguh ehem.”  sahut salah satu anak didik yang duduk di belakang.

Suasana kelas sektika berubah menjadi gaduh dengan ocehan anak-anak didik. Mereka bersahutan membicarakan guru kelasnya yang terlihat selalu bersama dengan Tsalitsa. Gemuruh ketawa anak-anak didik membehana hingga keluar dari ventilasi kelas ketika ada guyonan yang terdengan lucu. Broadin hanya bisa termangu dengan pandangan menatap tajam kepada anak-anak didik yang sedang menggodanya.

“Kami tidak berpacaran hanya teman biasa.” jelas Broadin. “Saya berharap kalian jangan berpikir tentang pacaran. Kalian harus fokus belajar agar nanti meraih kesuksesan. Jangan hiraukan antara Pak Broadin dan Mbak Tsalitsa!” pesan Broadin kepada anak didik.

“Bapak dan Mbak Tsalitsa terlihat sangat mesra bila berdua.” sahut salah satu anak didik.

“Teman tapi mesra, betul kawan-kawan?’ komentar anak didik yang lain.

“Betul, betul, betul.” jawab yang satunya menirukan gaya upin-ipin.

“Sekali lagi saya tegaskan, kalian jangan menghiraukan urusan orang lain. Fokuslah kalian dalam pembelajaran karena perjalanan kalian masih panjang dan banyak yang harus kalian perjuangkan.” pesan Broadin di akhir pembelajaran.

“Maaf, bapak. Apa yang harus kami perjuangkan?” tanya seorang anak didik dari belakang.

“Banyak yang harus diperjuangkan dan diupayakan seimbang dengan kenyamanan. Kamu bebas memilih yang sesuai dengan kehendakmu. Mau jadi duta yang menyisipkan pembelajaran agama atau mau jadi pelajar yang menekuni materi keilmuan dan keagamaan atau mau jadi ahli Quran yang menjaga kalam Tuhan. Terserah kamu yang terpenting jangan hanya rebahan tanpa ada kegiatan.” jelas Broadin seraya mengakhiri pembelajaran.

“Terima kasih, bapak guru.” seru anak-anak didik serempak.

Alangkah indahnya siang hari itu, matahari bersinar terang benderang. Burung-burung pun bernyanyi dengan riang dan bunga-bunga di taman bermekaran lalu menyemburatkan semerbak mewangi di sekitar halaman dan harumnya menerobos di ruang kelas. Membangkitkan gairah anak-anak didik untuk disegerakan menikmati waktu istirahat. Sejurus kemudian, mereka berhamburan ke halaman dan menikmati fenomena alam yang terbentang di luar kelas.

“Lihatlah langit sebanyak mungkin pasti pikiran akan menjadi cerah dan jenrih! Tenang, hening dan kedamaian akan datang ke hatimu dan jiwamu akan damai.” pesan Broadin kepada anak-anak didik di taman sekolah.

“Manusia mempunyai kekurangan dan kelebihan masing-masing yang telah Tuhan berikan. Jangan pernah menyesal dengan kekurangan dan jangan bangga pada kelebihan yang kau miliki! Ingtlah Tuhan menciptakan manusia tidaklah sempurna tetapi tidak percuma, maka bijaklah dan adillah pada diri sendiri!” Bu Ihda tak mau kalahmemberikan pesan kepada anak-anak didik.

“Nyatanya hidup ini semakin lucu di semua sekte. Mau berjuang dengan keadaan apa pun banyak kerikil tajam menghadang di kaki. Mau merem banyak yang menggoda ajak untuk melek, mau sekedar rebahan banyak yang mengajak lari. Sekedar pengin sesuai keinginan tetapi bebatuan kecil menggelinding dan Tuhan membuat cerita untuk melewati dengan segala kemampuan yang dimampukan kepada manusia.” Kotrek menyela di antara Broadin dan Bu Ihda.

“Ini lho, Pak Broadin kok semakin mesra bersama Mbak Tsalitsa, Pak.” celetuk Bu Ihda.

“Teman tapi mesra kata dalam pepatah.” sahut Broadin seraya tertawa kecil.

Setiap manusia punya rasa cinta yang mesti dijaga kesuciannya. Namun ada kala insan tak berdaya saat dusta mampir bertahta dalam kemurnian. Terhanyut dalam kemesraan membuat diri harus bertahan dengan ketidak berdayaan. Hanya meinginkan yang setia saat tak ada dan jauh dari sosok yang dipuja dan amanah pun jadi penjaganya. Semua perkara lautan kasih sayang menjadi pemenang dalam segala bagian cerita. Selamat berpegang pada yang terasumsikan cerita cinta yang menghayutkan dalam kemesraan.

Comments

Popular posts from this blog

WA Grup untuk pembelajaran daring

Pengalaman Menjadi Guru

Kabar yang Masih Samar