Akhirnya Lulus Sekolah Guru

 

 

Tiga puluh enam tahun berlalu, tepatnya di tahun 1986 seorang pemuda yang biasa dipanggil Goesbroadin telah menyelesaikan pendidikan guru di sebuah ibu kota Kabupaten yang terkenal dengan sebutan Kota Garam. Dengan agak berat hati, ia harus menerima panggilan yang sangat mulia, yaitu Pak Guru. Seringn kali sengaja tidak menoleh bila dipanggil Pak Guru, dia lebih senang dipanggil dengan nama asli atau nama panggilan. Menurut beberapa sahabatnya sangat disayangkan kalau sampai tidak berkenan dengan panggilan semulia itu. Banyak sudah sahabatnya yang memberi nasihat kepadanya dengan lapang dada harus menerima sebuah kenyataan di hadapannya.

“Kalau begitu kita panggil Goesguru saja.” celetuk salah satu sahabatnya.

Pada awalnya memang Goesbroadin tidak bercita-cita menjadi sosok guru. Sejak kecil, ia mendambakan menjadi seorang tentara atau polisi. Namun orang tuanya tidak setuju dengan cita-cita yang dia dambakan. Kedua orang tuanya dan didukung oleh kakeknya, maunya dia menjadi guru. Mengingat waktu itu dia sedang menempuh pendidikan dasar di lingkungan madrasah, diharapkan menjadi sososk guru agama atau seorang kiyai. Hatinya sering berontak dengan keinginan orang tua.

“Kamu harus menjadi guru!” pesan ayahnya dengan tegas.

 Orang tua Goesbroadin memang sungguh-sungguh untuk mencetak dirinya menjadi seorang guru hingga pada akhirnya diikutkan ujian persamaan SD agar bisa memasuki jenjang SMP formal karena modal ijazah madrasah diniyah belum diakui setara dengan Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah formal. Ketika awal masuk sekolah di tingkat menengah pertama berjalan dengan normal dan wajar. Pagi pergi sekolah siang pulang sekolah dengan naik sepeda onthel penuh semangat. Belum tampak pemberontakan jiwanya kepada arahan dari orang tua.

Namun apa yang terjadi, ketika Goesbroadin menerima tanda lulus dari Sekolah Menengah Pertama (SMP)? Dia menunjukkan perlawanan terhadap orang tua. Pendiriannya tetap bersikukuh dengan cita-citanya, yaitu pengin jadi tentara atau polisi. Dengan modal ijazah SMP, dia mau mendaftarkan diri menjadi abdi negara di bidang pertahanan dan keamanan.

“Kamu harus masuk sekolah guru!” pesan ayahnya dengan tegas.

Dengan berbagai pettimbangan dan bujuk rayu dari orang-orang di lingkungan, Goesbroadin berkenan mendaftar di sekolah guru sesuai kehendak orang tua. Selain melakukan pendaftaran di sekolah guru (SPG), secara diam-diam dia juga mendaftar di sebuah sekolah menengah atas dengan kategori umum atau di SMA. Kebetulan tes seleksi masuk tidak bersamaan waktunya sehingga dia bisa menempuh ujian masuk di SPG dan di SMA dalam waktu yang berbeda.

“Kenapa kamu mendaftar dua sekolah, Goes?” tanya seorang sahabatnya.

“Iseng saja, Kang.” jawab Goesbroadin sekenanya.

Tibalah pengumuman hasil seleksi masuk sekolah. Puji syukur alhamdulillah patut diucapkan oleh Goesbroadin karena dia diterima di dua sekolah yang berbeda. Hasil pengumuman diterima dengan senang hati utamanya bisa diterima di SMA dengan harapan orang tuanya bisa luluh untuk berkenan menyekolahkannya di SMA. Sengaja yang ditunjukkan kepada orang tuanya pengumuman dsari SMA sedang yang dari SPG masih disembunyikan. Akan tetapi, justru yang ditanyakan oleh orang tuanya yang pengumuman dari SPG.

“Kalau kamu masih tetap ingin sekolah di SMA, silahkan mencari biaya sekolah dan uang saku sendiri! Ayah belum sanggup membiayai kamu jika di SMA.’ komentar ayahnya dengan tegas.

Pada akhirnya, ditunjukkan pengumuman dari SPG kepada orang tua.

“Nah ini dia, lanjutkan dengan biaya dari ayah!” perintah ayahnya secara tegas.

Diakui dengan sedikit agak sombong, jika Goesbroadin merasa yakin mampu melanjutkan sekolah yang lebih tinggi ketika sudah lulus SMA. Dalam hatinya merasa rendah bila hanya cukup menempuh pendidikan di sekolah guru. Apa lagi dia mendapat informasi dari petugas pendaftaran bila lulus sekolah guru akan menjadi guru sekolah dasar atau SD. Hatinya sedikit bergejolak ketika harus mendaftar ulang di sekolah guru.

“Ikuti saja permintaan orang tua, Goes! Barangkali ada hikmah di balik semuanya.” nasihat salah seorang sahabatnya.

Pada akhirnya, Goesbroadin mengikuti pendidikan di SPG dengan berbagai pengalaman yang pernah dialami selama 3 tahun. Ketika awal masuk pendidikan, seperti pada umumnya siswa yang lain berjalan biasa dan normatif sekali. Ada pengalaman yang paling berkesan dalam menjalani pendidikan terutama di akhir masa periode pendidikan atau di semester 6 kelas III. Setelah praktik mengajar dengan sistem block pada salah satu sekolah dasar di Kota Garam, dia justru membolos alias tidak masuk sekolah tanpa izin. Tidak tanggung-tanggung hampir 1 bulan penuh dia membolos dari sekolah sehingga orang tuanya dipanggil pihak sekolah.

“Apakah kamu masih mau melanjutkan pendidikan atau berhenti dan langsung bekerja, silahkan pilih sekarang juga!” pinta ayahnya dengan berapi-api karena menaham amarah.

 “Lanjut sekolah.” jawab Goesbroadin lirih.

“Ulangi yang keras, belum dengar saya!” pinta ayahnya dengan nada tinggi.

“Lanjut!” jawab Goesbroadin datar cukup keras.

Dengan senang hati dan penuh harap serta doa dari orang tua mengiringi langkah Goesbroadin melanjutkan masuk sekolah. Setibanya di sekolah, dia disambut oleh sahabat-sahabat seangkatan dan terutama yang satu kelas. Tanpa rasa canggung dirinya berbaur kembali dengan siswa SPG yang lain, belajar dan bermain bersama. Dan yang lebih spesial lagi bagi dirinya ada seorang sahabat yang selalu memperhatikan sejak dia pertama kali memasuki sekolah pendidikan guru.

“Kenapa kamu harus bolos, Goes?” tanya sahabat tersebut.

“Entahlah, saya sendiri tidak tahu masalahnya! Tiba-tiba muncul rasa malas dan gejolak jiwa menerpa hati ini dan memprovokasi untuk tidak masuk sekolah.” jelas Goesbroadin.

“Ini materi pembelajaran yang kamu tinggalkan selama bolos!” sahabat tersebut menyodorkan segepok fotocopi materi pembelajaran yang telah dipelajari dan tidak diikuti oleh Goesbroadin.

“Terima kasih telah membantu saya dengan penuh perhatian.” sahut Goesbroadin.

Goesbroadin merasa senang dan dengan gembira belajar bersama sahabat-sahabatnya pada materi yang tertinggal dan mengejar materi berikutnya. Tak terasa tibalah saatnya menghadapi ujian akhir sekolah sebagai bukti kemampuan dasar selama mengikuti pendidikan guru. Dengan hati cukup tenang, dikerjakan satu persatu materi ujian akhir sekolah yang memakan waktu kurang lebih 1 minggu. Sedikit agak lega hatinya ketika selesai mengikuti ujian akhir sekolah meski masih sedikit berdebar karena menunggu hasilnya.

“Bagaimana menurut kamu butir soal ujian akhir sekolah?” tanya salah seorang sahabatnya.

“Cukup menegangkan, tetapi insyaallah saya bisa mengerjakan dan mudah-mudahan sukses dan kita lulus semua, aamiin!” ucap Goesbroadin seraya berdoa agar lulus.

Hari-hari yang ditunggu datang juga, yaitu pengumuman hasil ujian akhir sekolah. Pengumuman bersifat tertutup dalam amplop dan diterimakan kepada masing-masing siswa dengan by name. Amplop pengumuman diberikan oleh wali kelas dan diselingi pengumuman sejumlah siswa yang tidak lulus dan yang lulus. Dengan tangan gemetar sembari menundukkan kepala, Goesbroadin menerima amplop dari wali kelasnya. Dia pun berlari berbaur dengan siswa lainnya di halaman sekolah, di sana ada tangis penyesalan karena tidak lulus ujian, ada pula rona kegembiraan karena telah berhasil lulus ujian akhir sekolah.

Dengan jantung berdegub cukup kencang dan tangan masih gemetaran, akhirnya Goesbroadin membukalah amplop pengumaman. Pelan tapi pasti terkuaklah selembar kertas berisi pengumuman dan “Alhamdulillah!” serunya ketika membaca tulisan yang tertera dalam selembar kertas dari amplop. AKHIRNYA LULUS SEKOLAH GURU.   

Comments

Popular posts from this blog

WA Grup untuk pembelajaran daring

Pengalaman Menjadi Guru

Kabar yang Masih Samar